Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

11 Cerpen Desember 2015 Pilihan Kompasiana

10 Januari 2016   20:31 Diperbarui: 11 Januari 2016   18:13 2464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi cerpen "Bulan Biru" karya Gus TF Sakai (Kompas)"][/caption]Indonesia menjadi Guest of Honor dalam gelaran akbar Frankfurt Book Fair 2015. Beberapa bulan sebelum keberangkatannya ke Jerman, Goenawan Mohamad yang didapuk sebagai ketua panitia tim Indonesia, menjelaskan dalam salah satu diskusi di stasiun tv swasta: bahwa salah satu indikator Indonesia diundang adalah tingkat melek hurufnya yang tinggi, yaitu 93% dan dibarengi dengan kebebasan berekspresi –setidaknya pasca reformasi.

Jumlah pembaca di Indonesia cenderung meningkat. Buku-buku yang dicetak sebagai bahan bacaan pun semakin banyak. Faktor-faktor semacam itulah yang paling tidak membawa banyak penulis Indonesia yang kemudian go international dengan buku-buku yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh beberapa penerbit luar negeri, seperti Inggris dan Jerman. Itu adalah kebanggaan.

Namun, dari sehimpun keriangan tersebut, Goenawan Mohamad sedikit memberikan catatan, “Dari segi eksperimen bentuk, sangat kreatif. Semakin banyak novel ditulis, puisi bukan main. Hampir setiap minggu cerpen dan puisi hadir di surat kabar. Satu hal yang menarik, kehadiran (sastra) di blog. Banyak tulisan bagus di sana. Ini berbanding terbalik dengan pendidikan sastra yang buruk di Indonesia.”

Pantas pendidikan sastra dianggap buruk, Cerpen hanya diartikan amat sederhana oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), begini penjelasannya: kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi (pada suatu ketika). Tidak lebih, tanpa ada luapan perasaan yang berkembang.

Lantas, bagaimana dengan dunia kesusasteraan di ranah blog? Yang menurut Goenawan Mohamad: banyak tulisan bagus. Yang barangkali bisa kita baca dihampir tiap waktu dengan penulis dan karya yang berbeda.

Pasca kembalinya Kanal Fiksiana, misalnya, hal itu dibarengi dengan meningkatnya jumlah tulisan yang masuk. Barangkali manulis di kanal itu baru sekadar ingin coba-coba. Barangkali juga, dengan adanya kanal tersebut ada yang akhirnya menyeriusi dunia kesusteraan.

Berikut sehimpun cerita pendek yang terangkum selama bulan Desember 2015. Setelahnya, kami pun menambahkan beberapa memoar dari banyak penulis yang mungkin bisa digunakan sebagai cara belajar sastra dengan baik; setidaknya, bila pengetahuan tidak (cukup) mampu membantu menemukan jawaban, masih ada pengalaman yang sekiranya menunjang.

1. Jingga Senja Kita

"Karya itu anak jiwa, prosesnya seperti punya anak: konsepsi, kemudian ia berkembang dan siap lahir. Rilis. Bertemu semua pembaca dan saya seperti menjadi ibu yang melepas anaknya pergi dan menjadi milik masyarakat." - Dewi ‘Dee’ Lestari.

Andri Sipil mencerita senja seperti halnya ia sendiri yang melahirkannya. Lihat saja, betapa mahir Andri Sipil meletakkan senja di cerita pendeknya. "Namun sayangnya Senja tak pernah tahu seberapa bulat mata dan mancung hidungnya. Ia juga tak pernah tahu bagaimana rupa wajah ayah dan ibu dari foto yang pernah ditunjukkan tante Grace kepada kami. Karena Senja, adikku itu terlahir dengan kondisi buta."

Tidak, tidak hanya itu. Andri Sipil paham: Senja dan Jingga, adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. "Aku menuntun langkah Senja. Aku menyandarkan kelemahan tubuhnya pada bahuku. Aku mengajaknya ke atas bukit. Saat itu tepat matahari akan tenggelam. Aku mendudukkannya di atas rumput. Di ujung cakrawala semburat cahaya jingga mulai menampakkan dirinya. Aku menghadapkan senja padanya. Aku sejenak memandanginya."

2. Minum dari Cangkir Angkasa

"Menulis itu seperti bercinta, agar tidak membosankan, harus melakukan variasi gaya." - Agus Noor

Membaca beberapa cerita pendek dari Livia Halim, kita seakan bertemu hal-hal yang berbeda dari kebanyakan cerita pendek yang sering kita temui. Surealime, begitu banyak orang menyebutnya. Suatu karya yang banyak kejutan, sesuatu yang tak terduga.

Livia pun menekankannya pada pembuka cerita, bahwa cerita pendek miliknya adalah surealisme. “Air matanya untuk apa? Agar tehnya manis? Atau agar tehnya menjelma menjadi ramuan yang bisa memanggil Vena kembali?” tanya saya ragu-ragu.

3. Sepiring Mendoan di Atas Ranjang

"Ketika kita menerjemahkan sebuah karya sastra, di dalam terjemahannya mesti jadi karya sastra juga." - Sapardi Djoko Damono.

Penah baca cerpen "Sambal di Ranjang" karya Tenni Purwanti? Harian KOMPAS sempat memuat cerpen tersebut pada 29 November 2015. Menariknya, sepintas kita akan melihat hal serupa pada cerpen Sarwo Prasojo. Sepintas. Paling tindak di pembukanya: Suamiku kuanggap aneh saat seminggu setelah pernikahan, dulu itu. Masuk kamar langsung membisikkan kalimat, ”Siapkan mendoan untuk kita malam ini.”

Namun, terlepas dari kemiripan itu, Sarwo Prasojo nampaknya berhasil menerjemahkan hal yang lebih luas dan lebih kompleks dari cerpen yang dimiliki Tenni Purwanti. Bahwa mendoan, ialah makanan sejuta umat; siapa pun dapat dan berhak atas itu!

4. Istana Langit Timur

"Gagasan atau di mana mengawali gagasan ialah dengan citra visual. Gambar. Bagaimana peristiwa-peristiwa sehari-sehari di depan mata, menjadi pemicu lahirnya cerpen-cerpen atau novel-novel." - Gabriel Garcia Marquez

Satu hal yang menarik dari karya-karya Ando Ajo adalah cara menarasikan sesuatu dengan rinci. Sangat jelas. Misal, ketika menggambarkan suatu keributan di sebuah ruangan: "Seorang pelanggan tengah “mengamuk”, memaki setiap orang yang mencoba menenangkannya. Frans tahu pasti siapa pria itu, seorang pejabat negeri yang selalu bangga mengenakan jas yang “meneriakkan” apa pekerjaannya di wajah semua orang, dan melenggang dari satu bar ke bar lainnya."

Begitulah seterusnya Ando Ajo membuat cerita-cerita yang seakan kita melihat langsung setiap kejadian-kejadiannya terjadi di hadapan kita.

5. Kaki Tangan

"Karena setiap orang menyukai cerita. Tidak ada orang yang menolak cerita, bukan teori atau ideologi bisa membuat orang waspada. Cerita sama sekali tidak mengancam pikiran. Untuk itu, kita hanya membutuhkan teknik bercerita yang baik." - A. S. Laksana.

Setiap cerita barangkali dimulai dari sebuah pertanyaan atau permintaan. Seperti cerita milik S. Aji ini: Kaki Tangan. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dan bila disatukan dalam satu bingkai, maka jadilah satu cerita (menarik).

“Apa yang kau cemaskan?”

“Kehancuran pelan-pelan. Sebuah kehancuran yang rapi, lembut, tersembunyi. Kehancuran yang dikerjakan kaum intelegensia dan disembunyikan media massa.”

“Sebab apa?”

“Bukan karena letupan gunung Gamalama. Bukan karena gempa dan gelombang tsunami. Ini kehancuran yang berjalan karena operasi-operasi canggih yang mengapling sumber daya alam, menarik surplusnya, menciptakan keterbelahan pro-kontra warganya, dan tertawa sinis di balik panggung pertunjukan konflik dan polemik. Kekuatan-kekuatan trans-nasional itu sudah selesai membuat peta, mereka sedang mencari pintu masuknya, sedang membentuk unit-unit marsosenya.”

6. Cinta dan Angan: Mimpi Bertemu Sapardi

"Dunia sastra di Indonesia itu masih romantik. Sastra hanya seputar keindahan. Sibuk dengan estetik." - Seno Gunira Adjidarma.

Segala hal yang romantik, tak melulu soal cinta. Tapi cinta, selalu menghadirkan sesuatu yang romantik. Begitulah Andi Wi menghadirkan karya-karya berupa cerita pendek atau puisi. Lihat saja beberapa serial "Hal-hal yang Terjadi Ketika Kamu Pergi", kita akan disajikan betapa menunggu adalah kegiatan Yang-Agung.

Namun, pada cerita "Cinta dan Angan: Mimpi Bertemu Sapardi", Andi Wi hadir dengan cinta yang meluap! Letupan-letupan kata cinta hadir hampir di tiap paragraf hingga membacanya kita tidaklah bosan. "Jika dianalogikan seperti makan, tidaklah perlu empat sehat lima sempurna dan satu gelas susu sapi hangat sebagai pelengkap. Cukup seperti makan nasi dan lauknya kerupuk. Sederhana, bukan? Ya, dengan kata imbuhan ‘sangat’ kamu pasti berkata demikian. Keinginan saya ialah dicintainya dengan angan. Saya mencintainya diam-diam dan ia mencintai saya dalam-dalam."

7. Antimitos

"Semula kemauan saya menulis lahir karena ketidaknyamanan dengan prespektif sejarah yang hanya satu sisi.... dan hal itu selalu membuat saya miris dan bertanya-tanya." - Laksmi Pamuntjak

Ada keresahan yang terbaca pada cerita Tasch Taufan ini: bahwa waktu dapat memberi jawaban. Barangkali ada yang tak bisa disembuhkan waktu, masa lalu. Sebuah cerita yang beralas dendam sebagai acuan.

"Pengkhianat, biasanya, memakai baju paling indah, tersenyum paling manis, di antara pendukung, dia telah menerawang pertanda itu. Tak ada kata lain, tak ada cara lain baginya, selain tetap waspada, dalam situasi apa pun, kekuasaan, bisa berbalik menerkamnya, seperti Serigala lapar, dia siap sudah, melakukan perlawanan, bagai Harimau terluka, jika terdesak, namun, dia berjanji pada dirinya untuk tidak membabi buta."

8. Melihatmu, Melihat Suamiku

"Menulis bermodal ingatan, sama saja membunuh ingatan itu sendiri." - Zen RS

Menjelang Kompasianival 2015, DesoL akhirnya mengeluarkan buku pertamanya: Kumpulan Cerita "MATI". Dari buku itulah (bagi yang sudah membacanya) akan tahu bahwa DesoL tak akan pernah kehabisan cara untuk menceritakan kematian. Kematian apa pun: perasaan, nyawa, sampai ingatan.

Pada cerita ini pun, DesoL piawai menggiring pembacanya sampai akhir cerita dan mengetahui apa yang jadi maksud sebenarnya.

Aku melihat diriku sendiri. Dibawa polisi. Ditidurkan di balik jeruji besi. Kubisikkan pada yang bertubuh tambun, “Ingatkah kau bahwa sekarang adalah hari ibu? Maukah kau memelukku?”

Berbanding terbalik memang dengan cerita-cerita DesoL yang lain pada cerita ini, yaitu menghidupkan ingatan yang telah mati.

9. Aku Punya Cerita Bohong untuk Kalian

"Saya menulis karena di dalam jiwa saya telah diinspirasi oleh pengalaman-pengalaman yang sangat mengguncangkan jiwa. Dan saya menulis dalam ketakutan." - Ahmad Tohari.

Kadang kita tak bisa membedakan mana cerita yang benar-benar ditulis fiktif dan mana yang tidak. Tapi, kita akan sepakat, segala tulisan, barangkali, lahir berdasarkan pengalaman.

Cerita milik Loganue Saputra Jr ini, sungguh menyajikan sebuah kisah yang rinci, yang barangkali baru kita dapati dari sebuah pengalaman yang nyata. Seorang lelaki dengan setelan kemeja merah hati kotak-kotak memangku gitar di atas panggung, rambutnya hitam bercampur perak tergerai hingga ke bahu, kumis dan jambangnya rapi, matanya tajam penuh karisma, dia mendekatkan bibirnya ke microphone lalu mulai mementing gitarnya, dia menyanyikan lagu Jeff Bridges yang berjudul Everyting But Love. Dan ketika lagunya sudah hampir berakhir aku pun mempersiapkan diriku.

10. Yang Tersisa Dari Kita Hanyalah Koteka

"Ada hal-hal yang harus dilakukan, yang jauh lebih berharga daripada sekadar kebebasan: menulis." - Eka Kurniawan.

Gaya bertutur dalam menulis memang tidak bisa dipukul rata. Misal, tidak melulu gaya tulisan yang mengikuti kaidah EYD jauh lebih baik, tenimbang yang tidak. Inem adalah satu di antara. Kemampuannya bertutur dengan ringan dapat membuat sesuatu yang dianggap tabu, menjadi layak untuk disimak.

Rasa rindu pada kekasihnya meledak-ledak. Bak rahim seorang ibu menjelang kelahiran anaknya. Otot-otot dalam perutnya berkontraksi tiada henti.

11. Panik

"Dengan menulis, ada satu ruang kosong yang bisa dikembangkan. Salah satunya, memperkaya penghayatan seseorang mengenai Tuhan –berketuhanan." - Joko Pinurbo.

Dari cerita Panik milik Ikhwanul Halim, kita kembali mengingat bahwa dulu pernah terjadi tragedi kemanusiaan yang pada akhirnya menyatukan: tsunami. Dengan mengingat itu, kita pun disadarkan ada yang jauh lebih besar dari kita: Tuhan.

Sangat kerasan sekali Ikhwanul Halim menceritakan ulang (ditambah dengan sedikit pengamatan) peristiwa Tsunami. "Lelaki itu mulai panik. Hotel itu hanya berjarak dua persil dari rumahnya yang menumpang di tanah milik Yayasan keluarga. Di tanah itu, selain rumahnya juga bangunan sekolah yang dikelola Yayasan. Namun bukan itu yang membuatnya panik. Kedua orangtuanya, sebagai pengelola Yayasan dan sekolah, mempunyai kebiasaan tetap saja datang ke tempat itu meskipun hari Minggu atau hari libur."

***

Begitulah, sekiranya sebelas cerita pendek dan sekutip memoar. Barangkali dapat menjawab apa yang menjadi keresahan Goenawan Mohamad utarakan di awal: kehadiran dunia sastra di blog. Semua bisa dengan bebas membaca maupun menulis tanpa takut terbatas ruang di Internet. Atau, mengingat apa yang diucapkan Ernest Hemingway, kamu seharusnya berhenti menulis ketika kamu tahu apa yang akan ditulis keesokan harinya. [HAY]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun