Nah, itulah yang selalu tertahan untuk Prio dapat kenal wanita lebih jauh, bayangan itu akan wanita dan bagaimana jika ia melakukan sesuatu untuk wanita itu, sudah diimajinasikan indah seakan wanita itu akan bertindak seperti apa yang diimajinasikan Prio, padahal tidak semua wanita padai juga menangkap orang seperti Prio.
Prio tidak pernah berpikir: "wanita harus benar-benar percaya pada laki-laki tidak secepat apa yang dibayangkan laki-laki, mereka butuh waktu untuk kenal lebih jauh". Tetapi "Prio" sendiri, ia bukan orang yang mudah memperkenalkan diri pada wanita, terkadang melihat wanita yang dapat tersenyum dengan prank-prank atau video lucu di instagram, ia merasa sedikit inferior, bisakah ia memberi keceriaan itu dikala teknologi kini sudah menceriakan manusia?
Prio bertanya pada dirinya sendiri; "Bagaimanakah menjadi laki-laki menarik dapat membuat tertawa wanita di era teknologi ini"? Dengan sedikit agak ragu "Rinasih" juga tipikal wanita itu, dia dapat tertawa dengan Hand Phone-nya sendiri, sedangkan Prio? Ia tetap menjadi orang yang aneh dalam krumunannya, jarang tertawa, sesekali tertawa: orang disekitarnya tidak tahu apa yang ditertawakannya.
Senang bagi Prio mungkin adalah perkara lain; ia bukan melainkan diri, hanya saja jalan yang harus ia tempuh menghibur dirinya sendiri lewat apa yang bukan menjadi kebanyakan orang didalamnya.
Dalam kesehariannya bersama Rinasih dan teman-temannya. Pendengar yang baik dan cenderung diam adalah lebel yang tetap disematkan untuk Prio. Ia pun kadang membayangkan; bagaimana kalau dia diposisi yang orang lain sedang melakukan sesuatu itu terlihat membuat hangat suasana? Ia membayangkan menjadi Rinasih.
Bukan apa, Rinasih adalah sosok yang tegas, ia bisa berbicara pada siapapun, bahkan dalam keadaan apapun ia dapat tertawa dengan segala apa yang menjadi beban-beban hidupnya. Rinasih bukan komedian, tetapi ia adalah orang yang mencoba untuk kocak, karena didalam dirinya terdapat suatu beban berat yang harus dirasakannya; setidaknya itulah pendapat dari intuisi seorang "Prio".
"Entah mengapa Prio sebagai laki-laki diberkahi intuisi yang tajam, bukan apa, ia dapat merasakan bagaimana orang disekitarnya sedang merasakan apa-apa yang tidak menyenangkan hidupnya sendiri. Mungkin karena Prio dasarnya seorang seniman yang berkarya dalam bait kata-kata, terkadang imajinasi dan suara batin itu adalah patokan bagaimana Prio harus berkarya sebagai manusia. Tentu agar hidupnya bermakna, ia percaya hidup harus bermakna, setidaknnya untuk satu diri manusia itu sendiri yakni: dirinya sendiri".
Dengan sikap yang tidak dia punya, cenderung serius dan tidak mudah untuk tertawa, terlebih Prio adalah orang yang pendiam. Prio cukup sadar dirinya sendiri. Dan apa yang menjadi dasar kekagumannya pada Rinasih adalah sikap yang justru dia tidak punya, ada didalam diri Rinasih itu. Padahal dengan ketajaman batinnya beban hidup Rinasih lebih berat dari beban hidupnya sendiri.
Memang didalam krumunannya Prio dianggap orang yang spaneng, gelisah, dan aneh. Tetapi sebagai seorang seniman Prio sadar, tanpa menjadi gelisah, hidup tidak akan mampu untuk berkarya, apa lagi dalam menunjukan sisi kreatifnya, rasa-rasanya bagi seniman kegelisahan merupakan berkah dalam melanjutkan sebuah karyanya.
Berbicara cinta memang rumit; setidaknnya itulah yang Prio sedang pikirkan. Ia bukan saja orang yang tidak percaya diri untuk mengagumi Rinasih, tetapi apakah Rinasih melihat orang seperti Prio bisa menyukainya? Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Rinasih bukan hanya sekedar cantik, ia mandiri, ia kuat, Prio yakin akan lebih banyak pria yang mengejar mati-matian jika agama Rinasih adalah agama mayoritas yang dianut bagi banyak orang Indonesia.
Karena pernah sekali ia "Prio" dengar dari temennya sendiri yang sama-sama berkrumun dalam ruang ekonomi tersebut. "jika Rinasih se-iman dengannya ia akan aku kejar mati-matian" ia wanita yang dicari banyak pria, sikapnya; katanya rendah hati dan tidak akan pilih-pilih orang sebagai pendampinnya; itu kata teman, dan Prio sendiri juga sudah mengangguminya sebelumnya.