Ada pesan yang ingin disampaikan oleh pihak yang berkepentingan bahwa kata oknum dipakai sebagai barikade bahwa individu terkait tidak mewakili instansi secara keseluruhan.
Dengan bahasa lain: tidak semua aparat, pejabat, atau politisi seperti itu (terjerat dalam perkara hukum). Selama ini kata oknum memang erat kaitannya dengan profesi yang disebut di atas. Oknumisasi aparat, begitu ahli bahasa menyebutnya.Â
Kalau boleh diibaratkan, semua institusi adalah kambing putih. Adapun kambing hitamnya adalah oknum. Betapa malang jalan takdir sosok gaib bernama oknum, yang kerap dipersalahkan dalam banyak permasalahan demi kebaikan pihak lain.
Tiap kali ada aparat, pejabat, atau politisi yang bermasalah, mereka akan memakai dalih oknum demi menjaga citra instansi. Media pun kompak menggunakan istilah serupa, selaras dengan pernyataan pihak internal yang menjadi sumber beritanya.
Pengalaman kita dalam mengkonsumsi konten berita yang banyak mengandung kata "oknum", agaknya belum bergeser sejak masa Orde Baru. Saat itu penguasa cenderung akan memaksa media untuk menerapkan taktik semiotik yang sama. Jika media sampai luput menyematkan kata oknum dalam pemberitaan tentang anggota polisi dan TNI yang bermasalah, ada konsekuensi yang akan ditanggung.
Oleh karena itu, wartawan pada masa itu akan secara otomatis menyematkan kata "oknum" setiap kali ada aparat penegak hukum yang tejerat suatu perkara dalam berita mereka yang terbitkan. Jika tidak, bisa-bisa mereka dibredel esok harinya.
Selain sebagai media berinterksi, bahasa juga bisa digunakan sebagai propaganda. Kontrol penguasa rezim Orde Baru sangat kuat terhadap media. Strategi itu terbukti ampuh untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam buku berjudul "Indonesia Beyond Soeharto", Donald K. Emerson menyebut bahwa alasan penguasa rezim Orde Baru membatasi ekspresi media, literatur, dan seni, adalah guna memupuk kebudayaan politik nasional yang "seragam". Bahasa dijadikan sebagai sebuah alat legitimasi untuk membangun hegemoni politiknya.
Terlepas dari sejarahnya, ada sebuah hal yang masih menjadi perdebatan. Apakah istilah oknum hanya boleh disebut ketika anggotanya melakukan tindakan negatif saja? Atau apa anggota yang melakukan hal-hal positif pun layak disebut oknum?
Apabila tindakan mereka memang tidak mencerminkan instansi, lantas mengapa individu yang berprestasi tidak diberikan label oknum yang sama?
Faktanya, selama ini kata oknum hanya muncul ketika seseorang telah terbukti melakukan tindakan-tindakan negatif. Ada kecendrungan lembaga tidak ingin disalahkan atau tercemar citranya atas adanya permasalahan yang sudah jelas dilakukan anggotanya. Terlebih, hal itu dilakukan oleh banyak anggotanya dan menjadi rahasia umum di mata publik.