Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tafsir di Balik Makna "Inkonstitusional Bersyarat" Omnibus Law

6 Desember 2021   03:43 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:08 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Implikasinya dengan simpulan di atas, diduga pemerintah sejak awal memang berniat menggunakan peluang "Optimalisasi Kekosongan Hukum" sebagaimana yang didalilkan salah satu Hakim MK membenarkan niatan pihak pemerintah.

Sebuah niatan mencipta format "Peraturan Hukum Progresif" dengan "Metode Omnibus Law" yang belum ada aturan baku dan dasar hukumnya. Semangat ini diyakini mendapat dukungan DPR dengan komposisi koalisi partai yang mendukung pemerintah.

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) "Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan", yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan "kosong atau lowong".

"Kekosongan Hukum" dapat diartikan sebagai "suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat", sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai "kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan".

Setidaknya ada kausalitas hingga munculnya istilah baru "inkostitusional bersyarat" yang lazim dengan istilah "inkonstitusional" saja. Diduga situasi dalam rapat musyawarah ada pertarungan "soal kepakaran dan eksistensi independensi" para Hakim MK.

Bisa jadi rangkaian dua kata "kompromi berjamaah" menjadi kalimat paling tepat untuk menggambarkan "suasana batin para Hakim MK" untuk saling menjaga "soal kepakaran dan eksistensi independensi" dalam memutuskan suatu perkara.

Fenomena itulah yang menjadi kegamangan para Hakim MK, karena berdasarkan struktur lembaga peradilan, posisi MK adalah final yang tidak ada lembaga hukum lebih tinggi yang menguji putusan atas perkara yang sudah diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

Sedangkan dalam melaksanakan kewenangannya menguji UU terhadap UUD 1945, melekat 5 (lima) fungsi yang 2 (dua) diantaranya Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of Constitution), dan Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter of Constitution).

Dalam sistem peradilan nasional, Pasal 1 UU.No.4/2004 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan tafsir penggalan putusan poin 3 (tiga) yang menyebutkan " ..... tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan" tersebut, setidaknya terbuka ada 2 (dua) hal.

Pertama, Hakim MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku sebagai pedoman pembentukan UU dengan metode omnibus law, yang tafsirnya merubah UU.No.12/2011 juncto UU.No.15/2019 agar bisa dijadikan landasan hukum UUCK.

Atau kedua, tafsirnya bisa berarti perintah membuat peraturan perundangan baru yang secara khusus disiapkan sebagai pedoman dan landasan hukum untuk melegitimasi UUCK yang berbentuk omnibus law.

Salam MENJAGA dan MERAWAT Konstitusi, .......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun