Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tafsir di Balik Makna "Inkonstitusional Bersyarat" Omnibus Law

6 Desember 2021   03:43 Diperbarui: 6 Desember 2021   06:08 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata "Kontroversi" dan kalimat "Menyandra Langkah Politik Presiden" mungkin cukup tepat untuk memaknai putusan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Uji Formil UU.No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Kepastian atas "Amar Putusan Hakim MK" yang tidak mencerminkan "sebuah kepastian hukum atas berlakunya UU" tetapi dinilai cacat secara formil itu, sejatinya menjadi "catatan buruk permanen" dalam sejarah peradilan di Indonesia.

Makna cacat formil bisa ditafsirkan dari sisi proses persyaratan perumusan dan kandungan materiil yang diajukan pemerintah kepada DPR.

Konsekwensi praktik sistem pemerintahan demokrasi memang berbiaya relatif mahal dalam pengawalannya. Berapa pengeluaran dana APBN yang bersumber dari sebagian pajak rakyat untuk membiayai penyiapan hingga penetapan UUCK ini?

Sebagai misal, niatan pemerintah membuat UU dengan metode omnibus law ini adalah satu bukti, yang tentu sudah ada kalkulasi resiko hingga antisipasi berikut solusi masalah yang dihadapi dan benar-benar terjadi sesuai yang diprediksi sejak awal niatan politiknya.

Prediksi berupa antisipasi hingga solusi masalah dimaksud, adalah menghadapi dan melaksanakan perintah amar putusan Hakim MK terhadap UUCK yang dinyatakan "Inkonstitusional Bersyarat" sesuai keputusan Hakim MK atas gugatan yang disampaikan Para Pemohon.

Apa konsekwensi hukum-politik "PUTUSAN Nomor 91/PUU-XVIII/2020" terhadap Hakim MK yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir dalam perkara Pengujian Formil UU.No.11/2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945 tersebut?

Dalam perspektif politik, sosok 9 (sembilan) Hakim MK sedang menjadi sorotan public, mewakili para pelaku investasi, lingkungan akademisi, para politisi, hingga kalangan intelektual, kelompok asosiasi usaha, NGO dan organisasi profesional.

Setidaknya stigma yang melekat kepada para Hakim MK sebagai (1) peletak sejarah progresif putusan produk hukum baru, (2) pencipta yurisprudesi hukum baru, dan (3) pembuka wacana dan kajian ilmu hukum baru bagi kalangan akademisi di Indonesia.

Material "Amar Putusan" dalam "Pokok Permohonan" Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 ada 9 (sembilan), dan poin paling krusial untuk dipahami secara kritis adalah poin 3, 4, 5 dan 7. Mengapa? karena ada pembelajaran politis praktik ketatanegaraan elite penguasa.

Penggalan kalimat Amar Putusan Hakim MK poin 3 (tiga) menyebutkan "pembentukan UU.No.11/2020 bertentangan dengan UUD 1945 .." itu saja, bisa ditafsirkan bahwa Presiden dan Ketua DPR diduga punya niat dan upaya melakukan pembangkangan terhadap UUD 1945.

Meskipun simpulan tafsir di atas "direduksi tingkat kesalahannya" dengan kalimat lanjutan "... dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan".

Tafsir kalimat lanjutan di atas, setidaknya bertolak belakang dengan Amar Putusan Hakim MK poin 4 menyebutkan "UU.No.11/2020 masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini".

Meskipun ada 4 (empat) Hakim MK memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan uji formil UU.No.11/2020, pada akhirnya Hakim MK menyimpulkan ada kecacatan formil terkait proses persyaratan perumusan UUCK.

Sedangkan 5 (Lima) Hakim MK memiliki pendapat yang sama, berbeda dengan simpulan Empat hakim lainnya, sehingga keputusan final terhadap hasil uji formil UU.No.11/2020 dinyatakan "Inkonstitusional Bersyarat".

Selain bermakna "Ambivalen" terkait Amar Putusan Hakim MK untuk poin 3, 4 dan 7 itu "berpotensi mengadu domba" antara pemerintah penguasa dengan rakyat, sekaligus "memposisikan para investor menjadi ragu dan bahkan khawatir" dengan modal investasi yang terlanjur dijalankan.

Satu kata "bersyarat" inilah yang memberanikan presiden menyatakan UUCK tetap berlaku dan menggaransi para investor asing tidak merasa khawatir dengan penanaman investasinya yang sudah kadung terlanjur.

Tidak bisa dibayangkan jika material putusannya berbunyi tunggal "inkonstitusional", maka secara politik bisa ditafsirkan Presiden (mewakili eksekutif) bersama ketua DPR (mewakili legislatif) secara sadar dan terencana melakukan kesalahan politik melanggar UUD 1945.

Jika hanya kalimat tunggal "inkonstitusional" dalam putusan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, maka hal itu merupakan perbuatan melawan hukum sangat berat dengan konsekwensi bisa dilengserkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa definisi Inkonstitusional adalah tidak berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar; bertentangan dengan (melanggar) undang-undang dasar.

Para elite eksekutif dibawah perintah Presiden ditafsirkan telah mengabaikan ketentuan UU.No.12/2011 juncto UU.No.15/2019, tidak lagi menghargai "Tugas Pokok dan Fungsi BPHN", hingga dugaan memobilisasi para pihak tertentu melegitimasi rumusan UUCK.

Sementara, dengan faktor pemungkin keberadaan mayoritas partai politik pendukung pemerintah telah setuju dengan rumusan draf UUCK disyahkan menjadi Undang-Undang, juga bisa ditafsirkan wujud konspirasi politik para politisi dengan pihak eksekutif.

Apakah keputusan 5 (lima) Hakim MK yang menilai UU Cipta Kerja cacat formil sehingga dinyatakan inkostitusional bersyarat itu benar-benar dilatari kapasitas keahlian dan independensi eksistensinya? Ataukah ada muatan politik tertentu demi popularitasnya?

Pertanyaan diatas tentu berlaku juga kepada 4 (empat) Hakim MK yang menyatakan "pendapat berbeda atau dissenting opinion" terkait putusan uji formil UU.No.11/2020 tentang Cipta Kerja.

Keputusan Hakim MK setidaknya bermakna dua sisi secara politik dan hukum. Secara politik bisa dimaknai "kemenangan public yang tertunda" atas penolakannya selama proses perumusan, pengajuan hingga pengesahan UUCK melalui demonstrasi berjilid-jilid.

Sedangkan makna secara hukum bisa dimaknai keteledoran pihak eksekutif yang diduga sudah meniatkan sejak awal untuk dan atas nama misi pembangunan demi kesejahteraan rakyat dengan membuka pintu kemudahan untuk kepercayaan para investor.

Indikatornya bisa dilihat posisi 4 (empat) Hakim MK yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion dengan simpulan UUCK tidak cacat secara formil, yang dilatari kondisi "kekosongan hukum" untuk produk aturan hukum progresif dengan metode omnibus law.

Sementara keberadaan UU.No.12/2011 juncto UU.No.15/2019 tidak cukup dan atau kurang sesuai sebagai pedoman dan landasan hukum pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law.

Jika putusan Hakim MK mengatakan UUCK cacat formil, maka bisa ditafsirkan selama proses perumusan material UUCK mengabaikan prosedur dan tata cara pembuatan peraturan perundangan berdasarkan ketentuan UU.No.12/2011 juncto UU.No.15/2019.

Implikasinya dengan simpulan di atas, diduga pemerintah sejak awal memang berniat menggunakan peluang "Optimalisasi Kekosongan Hukum" sebagaimana yang didalilkan salah satu Hakim MK membenarkan niatan pihak pemerintah.

Sebuah niatan mencipta format "Peraturan Hukum Progresif" dengan "Metode Omnibus Law" yang belum ada aturan baku dan dasar hukumnya. Semangat ini diyakini mendapat dukungan DPR dengan komposisi koalisi partai yang mendukung pemerintah.

Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) "Kekosongan adalah perihal (keadaan, sifat, dan sebagainya) kosong atau kehampaan", yang dalam Kamus Hukum diartikan dengan Vacuum (Bld) yang diterjemahkan atau diartikan sama dengan "kosong atau lowong".

"Kekosongan Hukum" dapat diartikan sebagai "suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat", sehingga kekosongan hukum dalam Hukum Positif lebih tepat dikatakan sebagai "kekosongan undang-undang/peraturan perundang-undangan".

Setidaknya ada kausalitas hingga munculnya istilah baru "inkostitusional bersyarat" yang lazim dengan istilah "inkonstitusional" saja. Diduga situasi dalam rapat musyawarah ada pertarungan "soal kepakaran dan eksistensi independensi" para Hakim MK.

Bisa jadi rangkaian dua kata "kompromi berjamaah" menjadi kalimat paling tepat untuk menggambarkan "suasana batin para Hakim MK" untuk saling menjaga "soal kepakaran dan eksistensi independensi" dalam memutuskan suatu perkara.

Fenomena itulah yang menjadi kegamangan para Hakim MK, karena berdasarkan struktur lembaga peradilan, posisi MK adalah final yang tidak ada lembaga hukum lebih tinggi yang menguji putusan atas perkara yang sudah diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim.

Sedangkan dalam melaksanakan kewenangannya menguji UU terhadap UUD 1945, melekat 5 (lima) fungsi yang 2 (dua) diantaranya Mahkamah Konstitusi sebagai Pengawal Kontitusi (The Guardian of Constitution), dan Mahkamah Konstitusi sebagai Penafsir Akhir Konstitusi (The Final Interpreter of Constitution).

Dalam sistem peradilan nasional, Pasal 1 UU.No.4/2004 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh MA dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan tafsir penggalan putusan poin 3 (tiga) yang menyebutkan " ..... tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan" tersebut, setidaknya terbuka ada 2 (dua) hal.

Pertama, Hakim MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku sebagai pedoman pembentukan UU dengan metode omnibus law, yang tafsirnya merubah UU.No.12/2011 juncto UU.No.15/2019 agar bisa dijadikan landasan hukum UUCK.

Atau kedua, tafsirnya bisa berarti perintah membuat peraturan perundangan baru yang secara khusus disiapkan sebagai pedoman dan landasan hukum untuk melegitimasi UUCK yang berbentuk omnibus law.

Salam MENJAGA dan MERAWAT Konstitusi, .......

Bahan bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun