Nafsu itu bagaikan pencuri yang lihai.Ia hafal dan sangat mengenal tipikal diri kita. Bahkan, ia memiliki setiap senjata yang kita miliki. Jika kita mengambil pisau untuk mencegahnya, ia akan mengambil belati. Jika kita menggenggam pistol untuk mengusirnya, ia pun akan menodongkan pistolnya. Nafsu akan mencerminkan kekuatan apa pun yang kita gunakan untuk melawannya.Lalu, apa yang harus kita lakukan?
"Nyalakanlah lampu," ucap seorang Mursyid.
"Pencuri adalah seorang pengecut. Jika kalian menyinarinya dengan cahaya, ia akan lari tunggang langgang."
 Riya', 'ujub, girang dengan sanjungan, puas dengan penghormatan, bangga dengan kedudukan, serta cenderung pada balasan materi---semuanya adalah barisan pencuri.
Bisa saja seseorang menumpuk amal, namun ternyata amal itu hanyalah abu, fatamorgana belaka---karena isinya telah dicuri. Akibatnya, amal itu tidak bernilai dalam mendekatkan diri pada Allah. Ia tak menghantarkan pada ketakwaan, justru sebaliknya: semakin menjauhkan dari Sang Khaliq. Bahkan bisa jadi, amal itu telah menjauhkan hamba dari Tuhannya sejauh timur dan barat.
Memang menyedihkan, dalam urusan kebaikan pun kita seringkali lengah. Padahal, kebaikan adalah salah satu "makanan" yang paling menggoda bagi barisan pencuri itu. Entah karena kebodohan, kelalaian, atau kekalahan melawan hawa nafsu---kita justru hanya memanggul abu.
Padahal, bukanlah bentuk amal dan hiasan lahiriah yang dikehendaki. Yang diinginkan adalah substansinya---amal sebagai sarana untuk menghantarkan kita pada penghambaan yang paripurna.
Dahulu, ada seorang lelaki awam yang pekerjaannya mengangkut kotoran dari rumah-rumah dan membawanya ke tempat pembuangan sampah. Setiap malam, ia membawa sampah-sampah kita dan mengumpulkannya di suatu tempat.
Suatu saat, ada seorang pemuda ahli ibadah yang keluar di penghujung malam untuk berziarah dan melakukan salat sunnah di masjid. Sesampainya di dekat kuburan, ia menjumpai tukang sampah yang sedang mengumpulkan sampahnya di akhir malam.
Pemuda itu bergumam di dalam hatinya:
"Alhamdulillah, saya keluar malam hari untuk ibadah, bukan seperti dia yang keluar untuk mengangkut kotoran."
Tukang sampah itu pun seketika menoleh ke arah pemuda tersebut dan berkata:
"Hai Fulan, perbaiki dirimu! Meski aku mengangkut kotoran, namun aku telah memperbaiki diriku. Aku telah memperbaiki hubunganku dengan Allah Swt. Kau lihat pekerjaanku begini, lalu kau rendahkan aku? Waspadalah terhadap dirimu!"
Tak disangka, ternyata tukang sampah itu adalah seorang Wali Allah. Ia mengetahui isi hati pemuda ahli ibadah tersebut. Sayangnya, ibadah yang dilakukan oleh pemuda itu hanyalah ibadah lahiriah, sementara tukang sampah itu jauh lebih unggul karena ia melakukan ibadah hati---ia telah mensucikan hatinya dan memperbaiki hubungannya dengan Allah Yang Maha Kuasa.
Maka, mendengar ucapan tukang sampah tersebut, sang pemuda lantas menangis. Ia telah merasa ibadahnya lebih baik dari tukang sampah, dan meremehkan pekerjaan orang lain---padahal tukang sampah itu adalah seorang Wali Allah.
Ia berkata dalam hatinya:
"Astaghfirullah, orang ini mengetahui ucapan buruk yang terlintas dalam hati saya. Saya tidak mengetahui kadar seseorang di sisi Allah. Padahal dia hanyalah orang awam---aku tak menyangka bahwa dia adalah Wali Allah."
Pemuda itu pun lantas meminta maaf atas kesalahannya.
Ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemuda ahli ibadah tersebut.
Orang yang disangkanya hina, justru jauh lebih mulia di sisi Allah Swt.
Maka, berbaik sangkalah kepada setiap orang!
 Maka, mendengar ucapan tukang sampah tersebut, sang pemuda lantas menangis. Ia telah merasa ibadahnya lebih baik dari tukang sampah, dan meremehkan pekerjaan orang lain---padahal tukang sampah itu adalah seorang Wali Allah.
Ia berkata dalam hatinya:
"Astaghfirullah, orang ini mengetahui ucapan buruk yang terlintas dalam hati saya. Saya tidak mengetahui kadar seseorang di sisi Allah. Padahal dia hanyalah orang awam---aku tak menyangka bahwa dia adalah Wali Allah."
Pemuda itu pun lantas meminta maaf atas kesalahannya.
Ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi pemuda ahli ibadah tersebut.
Orang yang disangkanya hina, justru jauh lebih mulia di sisi Allah Swt.
Maka, berbaik sangkalah kepada setiap orang!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI