Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sirene "Tot-tot Wok-wok": Antara Urgensi dan Arogansi

20 September 2025   19:04 Diperbarui: 20 September 2025   19:04 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sorry Manusia Sok Penting, Gerakan Sipil Tolak Sirene dan Strobo Mulai Gencar di Jalan 

Suara sirene meraung, strobo merah-biru berkelip, dan sebuah mobil mewah melaju mulus di tengah kemacetan. Para pengendara motor dan mobil kecil buru-buru menepi, meski dengan wajah jengkel.  Adegan semacam ini begitu akrab di jalanan kota besar Indonesia. Namun di balik bunyinya, sirene tidak hanya sekadar tanda lalu lintas. Ia adalah bahasa kekuasaan yang beroperasi di ruang publik.

Roland Barthes, seorang pemikir semiotika Prancis, mengatakan bahwa tanda (sign) tidak berhenti pada arti literal (denotasi), tetapi meluas menjadi makna kedua (konotasi) yang membentuk "mitos". Dalam konteks Indonesia, sirene bukan lagi sekadar alat penanda kendaraan darurat. Ia berubah menjadi mitos tentang kuasa: siapa yang boleh melaju, dan siapa yang harus menyingkir.

Sementara Theo van Leeuwen, seorang pemikir semiotika sosial, menekankan bahwa tanda tidak bisa dilepaskan dari praktik sosial. Tanda selalu bekerja dalam tiga ranah: mewakili,relasi, dan identitas. Dengan kerangka ini, "Tot Tot Wok Wok" dapat dibaca lebih dalam: ia bukan sekadar bunyi mekanis, tetapi representasi dari siapa yang berhak menguasai jalan, siapa yang harus mengalah, dan bagaimana hierarki kekuasaan dipertontonkan sekaligus dinormalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Representasi Kuasa

Secara normatif, sirene dan bunyi "Tot Tot Wok Wok" merepresentasikan "urgensi": ambulans yang mengejar waktu, pemadam kebakaran yang menyelamatkan nyawa, atau polisi yang menjaga ketertiban. Tetapi ketika dipakai kendaraan pejabat untuk urusan non-darurat, tanda itu dipelintir maknanya.

Urgensi bergeser menjadi privilese. Sirene merepresentasikan legitimasi semu atas kuasa, sebuah simbol yang meneguhkan hierarki sosial dan menandai siapa yang berhak mendominasi ruang publik serta siapa yang harus tunduk di dalamnya.

Kisah nyata memperkuat ironi ini. Seorang sopir ojek online di Jakarta hampir jatuh karena kaget mendengar sirene yang ternyata hanya mengawal mobil dinas kosong. Di Surabaya, seorang ibu yang sedang terburu-buru mengantar anaknya ke rumah sakit justru dipaksa menyingkir oleh mobil berstiker instansi. Pada kedua kasus ini representasi "darurat" telah berubah menjadi representasi "dominasi".

Raungan Sirene "Tot Tot Wok Wok" juga membentuk relasi asimetris. Mereka yang menyalakannya menjadi "subjek superior", sementara pengguna jalan lain dipaksa patuh sebagai "objek inferior". Tidak ada dialog, hanya perintah. Relasi ini menciptakan rasa frustrasi yang mendalam karena warga dipaksa tunduk, meski sama-sama memiliki kepentingan mendesak

Penggunaan sirene dan strobo juga membangun identitas simbolik. Mobil berlampu strobo menampilkan citra "kami lebih penting", sementara warga biasa diposisikan sebagai penghalang yang harus menyingkir. Identitas sosial ini dikonstruksi bukan lewat argumen rasional, melainkan lewat tanda visual dan auditori yang memaksa

Identitas ini pada akhirnya menciptakan sekat sosial yang tajam: pejabat versus rakyat, penguasa jalan versus pengguna jalan biasa. Sirene bukan hanya alat lalu lintas, tetapi instrumen yang menciptakan kategori sosial secara nyata.

Sorry Manusia Sok Penting, Gerakan Sipil Tolak Sirene dan Strobo Mulai Gencar di Jalan 
Sorry Manusia Sok Penting, Gerakan Sipil Tolak Sirene dan Strobo Mulai Gencar di Jalan 

 

Politik Jalan Raya

Kepolisian memang berjanji menertibkan penggunaan sirene dan strobo. Namun publik menuntut lebih: aturan konsisten, transparansi pemberian izin, serta sanksi tegas bagi pelanggar. Sebab, sirene bukan sekadar perangkat teknis, melainkan simbol bagaimana hukum ditegakkan.

Fenomena "Tot Tot Wok Wok" membuktikan bahwa ketidakadilan kecil di jalan bisa berdampak besar pada legitimasi negara. Generasi muda, penggerak utama kampanye ini, adalah pemilih politik masa depan. Jika arogansi di jalan dibiarkan, sirene bisa berubah dari sekadar bunyi lalu lintas menjadi gema perlawanan di bilik suara.

Pada akhirnya, "Tot Tot Wok Wok" bukan sekadar soal sirene dan strobo, melainkan cermin relasi kuasa yang timpang di jalan raya. Di balik raungan itu tersimpan pesan bahwa ada yang merasa lebih berhak melaju, sementara rakyat biasa harus mengalah.

Jika ruang publik terus dibiarkan tunduk pada privilese segelintir orang, kita sebenarnya sedang mewariskan budaya ketidakadilan kepada generasi berikutnya. Jalan seharusnya menjadi ruang kesetaraan, tempat semua orang bergerak dengan hak yang sama. Bukan panggung arogansi yang membungkam suara rakyat dan meneguhkan hierarki semu.**

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun