OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 20: Negeri yang Kembali Bersatu
Matahari meninggi, sinarnya menyingkap kabut dan asap perang yang perlahan sirna. Di medan yang penuh darah dan tubuh bergelimpangan, suara dentang senjata berhenti. Prajurit-prajurit Mataram menunduk, meletakkan senjata mereka ke tanah.
Seorang panglima tua maju, menekuk lutut di hadapan Pancapana. "Paduka, Panangkaran telah tumbang. Kami tidak ingin melanjutkan perang. Mulai hari ini, kami mengakui Anda sebagai pemimpin yang sah."
Prajurit lainnya mengikuti, satu per satu berlutut. Pancapana menatap mereka, hatinya diliputi haru. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Bangkitlah! Kalian bukan musuhku. Kita semua adalah saudara sebangsa. Mulai sekarang, tidak ada lagi perpecahan antara Syailendra dan Mataram!"
Sorak sorai meledak, bukan sorak kemenangan, melainkan sorak kelegaan.
Pramudawardhani yang mendampingi Pancapana tersenyum, matanya berkilat bangga. Candradewi, meski hatinya masih berduka atas Indrayana, menatap Pancapana dengan kagum. Ia tahu sahabatnya itu telah benar-benar berubah: bukan lagi pemuda yang dikuasai amarah, melainkan seorang ksatria sejati.
Jenazah Panangkaran diangkat, dimakamkan dengan layak agar dendam tidak lagi diwariskan. Pancapana memerintahkan agar rakyat Mataram diberi pengampunan penuh. "Pengkhianatan harus berhenti pada generasi ini," ucapnya tegas.
Beberapa minggu kemudian, Mataram perlahan bangkit dari luka. Pancapana bersama Pramudawardhani memimpin dengan bijak, menyatukan kembali dua kekuatan besar: Syailendra dan Mataram. Candradewi tetap setia mendampingi, menjadi saksi sejarah yang kelak akan diceritakan turun-temurun.
Sebagai tanda persatuan, Pancapana memerintahkan pembangunan sebuah candi agung, lebih besar dan megah dari semua yang pernah ada. "Candi ini akan menjadi lambang persatuan, cinta, dan keabadian. Bukan dibangun dengan tipu daya, melainkan dengan ketulusan dan kerja bersama," ujarnya.