OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 18: Duel Dua Darah
Asap perang membubung tinggi, tanah berlumur darah, dan jeritan bercampur dentang senjata memenuhi udara. Di tengah kekacauan itu, Pancapana dan Panangkaran akhirnya berhadapan.
Kuda mereka berhenti berhadapan di antara riuh prajurit yang masih bertarung. Angin membawa bau besi dan darah, sementara mata kedua ksatria itu saling menatap tajam.
"Pancapana," ejek Panangkaran dengan suara menggelegar, "kau hanyalah bayangan dari ayahmu. Sanjaya mati di tanganku, dan kini nasibmu akan sama."
Pancapana menggenggam gagang pedang erat-erat. "Engkau bisa membunuh jasad ayahku, Panangkaran, tapi tidak akan pernah membunuh warisan keberanian yang mengalir dalam darahku!"
Dengan teriakan lantang, keduanya melompat dari kuda dan saling menerjang. Pedang Pancapana beradu keras dengan golok Panangkaran, menimbulkan percikan api.
Pertarungan mereka bagaikan dua petir yang saling menyambar. Panangkaran menyerang dengan kekuatan penuh, setiap tebasannya berat bagai palu baja. Pancapana mengimbangi dengan kecepatan dan ketepatan, pedangnya berputar lincah menangkis dan membalas.
Dari kejauhan, prajurit Syailendra dan Mataram terhenti sejenak, menyaksikan dua pemimpin itu bertarung. Mereka tahu, duel ini bukan hanya persoalan pribadi, melainkan penentu arah sejarah.
Panangkaran mengayunkan golok besar, hampir mengenai kepala Pancapana. Namun Pancapana menunduk cepat, lalu membalas dengan tebasan ke samping. Golok dan pedang beradu, suara dentumnya menggema hingga ke ujung medan.