OLEH: Khoeri Abdul Muid
Bagian 15: Sumpah di Tengah Duka
Balairung istana kini sunyi. Aroma darah bercampur dengan wangi dupa yang dinyalakan untuk meredakan suasana. Tubuh Indrayana terbujur, ditutupi kain putih, sementara Candradewi terduduk di sisinya, matanya bengkak oleh tangis yang tak kunjung reda.
Pancapana berdiri kaku di dekat jenazah sahabatnya. Kalung pusaka di dadanya terasa semakin berat, seolah menuntutnya untuk segera bangkit. Namun hatinya remuk---kehilangan Indrayana bagaikan kehilangan separuh jiwanya.
Pramudawardhani mendekat, suaranya lembut namun tegas. "Pancapana, aku turut berduka. Tapi ingatlah, Indrayana rela berkorban bukan agar kau larut dalam kesedihan, melainkan agar kau meneruskan perjuangan."
Candradewi menoleh, suaranya parau oleh tangis. "Apa gunanya perjuangan tanpa Indrayana? Dia yang selalu setia, kini pergi meninggalkan kita."
Pancapana berlutut di samping jenazah sahabatnya, menggenggam tangan Indrayana yang dingin. Air matanya jatuh, membasahi kain kafan. "Sahabatku... engkau sudah menyerahkan segalanya untukku. Demi persahabatan, demi cinta, dan demi negeri ini. Aku bersumpah di hadapan para dewa, pengorbananmu tidak akan sia-sia."
Ia bangkit, suaranya lantang meski bercampur isak. "Mulai hari ini, aku akan mengemban takdirku. Aku akan merebut kembali tahta Mataram yang dirampas Panangkaran. Dan aku akan membangun negeri ini dengan kebenaran yang kau jaga dengan nyawamu."
Prabu Smarattungga menatap Pancapana dengan mata penuh wibawa. "Kata-katamu adalah sumpah seorang ksatria. Aku akan mendukungmu, menantuku. Bersama Syailendra, kita akan menentang kelicikan Panangkaran."
Rakyat yang mendengar turut bersorak, meski air mata masih membasahi wajah mereka. Mereka merasakan lahirnya tekad baru di tengah duka mendalam.