Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kisah Berdirinya Candi Borobudur [XV]

18 September 2025   18:21 Diperbarui: 18 September 2025   18:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by kam/ai

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Bagian 15: Sumpah di Tengah Duka

Balairung istana kini sunyi. Aroma darah bercampur dengan wangi dupa yang dinyalakan untuk meredakan suasana. Tubuh Indrayana terbujur, ditutupi kain putih, sementara Candradewi terduduk di sisinya, matanya bengkak oleh tangis yang tak kunjung reda.

Pancapana berdiri kaku di dekat jenazah sahabatnya. Kalung pusaka di dadanya terasa semakin berat, seolah menuntutnya untuk segera bangkit. Namun hatinya remuk---kehilangan Indrayana bagaikan kehilangan separuh jiwanya.

Pramudawardhani mendekat, suaranya lembut namun tegas. "Pancapana, aku turut berduka. Tapi ingatlah, Indrayana rela berkorban bukan agar kau larut dalam kesedihan, melainkan agar kau meneruskan perjuangan."

Candradewi menoleh, suaranya parau oleh tangis. "Apa gunanya perjuangan tanpa Indrayana? Dia yang selalu setia, kini pergi meninggalkan kita."

Pancapana berlutut di samping jenazah sahabatnya, menggenggam tangan Indrayana yang dingin. Air matanya jatuh, membasahi kain kafan. "Sahabatku... engkau sudah menyerahkan segalanya untukku. Demi persahabatan, demi cinta, dan demi negeri ini. Aku bersumpah di hadapan para dewa, pengorbananmu tidak akan sia-sia."

Ia bangkit, suaranya lantang meski bercampur isak. "Mulai hari ini, aku akan mengemban takdirku. Aku akan merebut kembali tahta Mataram yang dirampas Panangkaran. Dan aku akan membangun negeri ini dengan kebenaran yang kau jaga dengan nyawamu."

Prabu Smarattungga menatap Pancapana dengan mata penuh wibawa. "Kata-katamu adalah sumpah seorang ksatria. Aku akan mendukungmu, menantuku. Bersama Syailendra, kita akan menentang kelicikan Panangkaran."

Rakyat yang mendengar turut bersorak, meski air mata masih membasahi wajah mereka. Mereka merasakan lahirnya tekad baru di tengah duka mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun