"Nah, hidup kita juga seperti bangjo. Hijau artinya harapan---kita boleh melaju dengan penuh semangat. Kuning artinya hati-hati, waspada. Dan merah artinya berhenti---itulah ajal, saat hidup kita selesai. Sekarang, kita masih di hijau dan kuning. Masih ada waktu untuk belajar, berbuat baik, menolong orang lain. Jadi jangan takut. Justru bersyukurlah, karena Tuhan masih memberi kesempatan."
Anak-anak mulai tenang. Beberapa tersenyum kecil. Namun seorang murid bernama Budi bertanya lagi dengan polos, "Kalau nanti benar-benar kiamat, Pak?"
Pak Bijak menepuk pundaknya lembut. "Kalau kiamat datang, kita tak bisa menghindar. Maka persiapkan dirimu dari sekarang. Jangan takut, asal kita selalu berusaha baik, Tuhan akan menyelamatkan kita di akhirat nanti. Ingat, lebih baik takut berbuat salah daripada takut pada banjir."
Tawa kecil pun pecah, mencairkan suasana.
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak keluar kelas dengan wajah lebih ceria. Mereka berlarian di halaman yang masih becek, tanpa lagi dibayang-bayangi ketakutan.
Pak Bijak menatap mereka dari jendela kelas, lalu berbisik pada dirinya sendiri:
"Masih untung banjir, bukan kiamat. Selama masih ada peringatan, manusia masih diberi kesempatan untuk berubah."
Langit pun mulai cerah. Awan hitam bergeser, memberi ruang bagi sinar matahari yang hangat---seolah mengamini doa Pak Bijak agar anak-anak desa tumbuh menjadi pribadi yang berani dan penuh harapan.
Episode 5 menutup dengan pesan: bencana bukan akhir segalanya, melainkan peringatan. Selama masih ada banjir, bukan kiamat, manusia masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.
BERSAMBUNG ke Episode 6 -- Filosofi Kelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI