OLEH: Khoeri Abdul Muid
Episode 3 -- Sandiwara Politik
Warung kopi Pak Kasan di pojok jalan desa malam itu penuh sesak. Bau kopi tubruk bercampur dengan asap kretek tipis yang mengepul ke langit-langit bambu. Di meja panjang, beberapa lelaki desa duduk melingkar, sibuk berceloteh tentang berita yang baru saja ditayangkan televisi: kasus korupsi yang melibatkan politisi ternama.
"Lha piye, wong janji kampanye e ngomong 'bersih, jujur, merakyat', tapi kenyataannya malah ngemplang duit negara," kata Pak Kasan sambil menuang kopi.
"Halah, semua sama aja. Politikus kok, cuma pinter bikin sandiwara," timpal Minto, pedagang sayur yang tiap pagi kulakan ke pasar kota.
"Ya bener, Min. Wong kasus si Anasasia, Andirido, Nazarisum itu yo kayak sinetron. Tiap babak ada dramanya," tambah seorang bapak lain.
Suasana riuh dengan tawa getir. Namun di sudut meja, Pak Bijak hanya tersenyum kecil, sambil menggulung sarungnya. Ia tidak langsung menanggapi, hanya mendengarkan dengan seksama.
"Pak Bijak, njenengan kok diem wae?" tanya Minto, penasaran.
Pak Bijak menaruh cangkir kopinya perlahan. Tatapannya tajam, tapi suaranya lembut.
"Itu oknum. Tidak semua politisi begitu, Saudara-Saudaraku," ucapnya, "kalian tahu apa bedanya politisi dengan guru?"
Mereka saling pandang, ada yang nyengir, ada yang mengangkat bahu.
"Bedanya, guru itu jelas punya murid. Politisi juga seharusnya punya murid---yaitu rakyat. Tugas guru adalah mendidik, tugas politisi pun harusnya mendidik rakyat lewat teladan dan kebijakan."
Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan dengan suara lebih tegas:
"Kalau politisi sibuk korupsi, lalu apa yang bisa diajarkan pada rakyat? Bukankah itu berarti mereka sedang mengajarkan cara curang kepada seluruh bangsa?"
Suasana warung seketika hening. Hanya suara jangkrik di luar dan kepulan asap kopi yang bergerak pelan. Kata-kata Pak Bijak seakan menampar mereka semua.