Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Dendam Singhasari: Api Terakhir Majapahit [2-10]

11 September 2025   16:19 Diperbarui: 11 September 2025   16:19 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: Khoeri Abdul Muid

[PERSEMBUNYIAN DAN BENIH PENGKHIANATAN]

Hutan Tarik menyambut mereka dengan sunyi yang nyaris menyesakkan. Udara lembab dan berat, sarat dengan aroma tanah basah dan daun-daun membusuk. Gemerisik binatang malam dan desau angin yang menggereti daun-daun besar menjadi irama pengasingan mereka yang baru. Bekas luka di wajah dan tubuh para prajurit perlahan sembuh, tetapi luka di jiwa mereka masih segar dan berdenyut-denyut nyeri.

Raden Wijaya menyingsingkan lengan bajunya yang kasar, tak lagi sutra halus yang biasa dikenakannya di istana. Tangannya yang dulu memegang pusaka kerajaan, kini mencengkram kapak kayu dengan erat, membelah kayu untuk membangun tempat berteduh.

"Pukul lebih dalam, Sora!" serunya pada Lembu Sora yang sedang membelah sebuah kayu gelondongan besar. "Kita butuh papan untuk atap, bukan serpihan untuk api unggun!"

Lembu Sora menghela nafas, menyeka keringat yang mengalir di dahinya. "Lebih mudah menghadapi seratus prajurit Kediri daripada satu batang kayu keras ini, Tuanku. Kayu ini sekeras hati Jayakatwang!"

Dari balik pepohonan, Nambi muncul, membawa beberapa umbi-umbian dan buah berwarna merah kekuningan yang aneh. "Perut kosong juga tidak akan mengisi tenaga kita, Tuanku. Mari kita istirahat sejenak. Alam menyediakan, meski sedikit."

Mereka duduk di atas batang kayu yang tumbang. Raden Wijaya mengambil buah itu, memutar-mutarnya dengan penuh rasa ingin tahu. "Apa ini?"

"Penduduk sini menyebutnya buah maja," jelas Nambi. "Tapi mereka memperingatkan, jangan memakannya. Katanya pahitnya bukan main."

Raden Wijaya penasaran. Ia menggigitnya, dan seketika wajahnya mengerut. "Pfft! Benar. Pahitnya... menusuk ke tulang. Seperti nasib kita sekarang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun