Mohon tunggu...
Kezia Artanauli Purba
Kezia Artanauli Purba Mohon Tunggu... Teacher

I am a biology teacher who truly enjoys my profession. I take great pleasure in keeping myself updated with ongoing developments and the evolving teaching methods, while ensuring that every approach remains aligned with established educational values and norms

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tri Hita Karana dalam Kebijakan Pembangunan Provinsi: Harmonisasi Sosial, Spiritualitas dan Lingkungan sebagai Pilar Menuju Keberlanjutan Pendidikan

13 Oktober 2025   13:34 Diperbarui: 13 Oktober 2025   13:34 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pembangunan daerah yang berkelanjutan kini menjadi tuntutan global dan lokal. Di satu sisi, pemerintah provinsi bertanggung jawab meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik. Di sisi lain, jika pembangunan hanya mengejar pertumbuhan fisik dan material, tanpa memperhatikan aspek kultural, sosial, spiritual, dan lingkungan, bisa timbul masalah serius: degradasi lingkungan, hilangnya identitas budaya, ketidakadilan sosial, konflik antara kepentingan ekonomi dan konservasi, serta kecenderungan pendidikan yang hanya menekankan aspek intelektual dan teknis, mengabaikan karakter dan nilai.

Di Bali dan beberapa provinsi lain di Indonesia, filosofi Tri Hita Karana (THK) muncul sebagai paradigma lokal yang mampu menjembatani dimensi material dan nonmaterial dalam pembangunan. THK, yang terdiri dari tiga relasi utama --- Parahyangan (manusia dengan Tuhan/ruang spiritual), Pawongan (manusia dengan manusia/relasi sosial), Palemahan (manusia dengan lingkungan/alam) --- menawarkan kerangka untuk pembangunan yang lebih holistik dan harmonis. Filosofi ini bukan hanya milik adat atau ritual, tetapi telah diupayakan untuk diintegrasikan dalam kebijakan publik, regulasi, manajemen organisasi, dan operasional pemerintahan provinsi.

Sebagai mahasiswi Pendidikan IPA, saya tertarik menganalisis bagaimana THK dipraktikkan dalam kebijakan pembangunan provinsi, dan bagaimana organisasi / institusi di tingkat provinsi mengadopsi prinsipprinsip THK dalam manajemen dan operasionalnya. Apakah prinsip ini hanya dijadikan simbol budaya/promosi, atau sudah diterjemahkan ke dalam tindakan nyata dan terukur? Dengan pendekatan studi kasus di Bali (sebagai provinsi pionir penerapannya), tulisan ini mengulas penerapan THK dalam kebijakan pembangunan provinsi, tantangannya, dampaknya, dan implikasi pendidikan dan manajerial, serta menyusun saran agar prinsip THK dapat lebih efektif menjadi landasan pembangunan.

Pembahasan

1. Pengertian dan Komponen Tri Hita Karana

Sebelum masuk ke implementasi, penting memahami komponen dari THK:

  • Parahyangan: relasi manusia dengan Tuhan atau ruang spiritual. Mencakup kegiatan ritual keagamaan, penghormatan pada kerohanian, tempat-tempat suci, adat-istiadat keagamaan.

  • Pawongan: relasi sosial antar manusia --- keadilan, kebersamaan, saling menghormati, gotong royong, inklusivitas, kepedulian terhadap sesama.

  • Palemahan: relasi manusia dengan alam/lingkungan --- pelestarian lingkungan, konservasi sumber daya alam, menjaga keseimbangan ekosistem, pertanian ramah lingkungan, tata ruang yang tidak merusak alam.

THK berasal dari budaya Bali, tetapi relevansinya dapat dijangkau dalam konteks provinsi manapun, terutama daerah dengan kearifan lokal yang kuat atau tekanan pembangunan yang besar.

2. Implementasi THK dalam Kebijakan Pembangunan Provinsi

Berikut beberapa cara di mana THK sudah diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan provinsi (khususnya Bali), dan contoh nyata:

a. Peraturan Daerah dan Regulasi

  • Pemerintah Provinsi Bali melalui beberapa Perda (Peraturan Daerah) mengatur pembangunan pariwisata berbasis budaya dan pelestarian kawasan suci. Misalnya regulasi penggunaan produk pertanian lokal dalam hotel dan restoran sebagai bagian dari THK, atau larangan pembangunan yang merusak lingkungan di zona hijau. KOMPASIANA+2bali.antaranews.com+2

  • Gubernur Bali menegaskan bahwa proyek pembangunan hotel misalnya harus berlandaskan THK. Pemberian IMB bisa ditolak jika pengembang tidak menunjukkan komitmen terhadap prinsip kearifan lokal dan lingkungan. bali.antaranews.com

  • Kebijakan tata ruang daerah mengintegrasikan prinsip THK: menjaga zona hijau, mempertimbangkan fungsi kawasan adat atau suci, memperhatikan pengelolaan lingkungan dalam rencana pembangunan infrastruktur. KOMPASIANA+1

b. Proyek Khusus dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

  • Contoh: Kawasan Ekonomi Khusus Kura-Kura Bali (Pulau Serangan) dimana visi pembangunan harus selaras dengan prinsip THK. Pengelola KEK menekankan bahwa investor yang masuk harus memiliki visi yang sejalan dengan pelestarian lingkungan dan keseimbangan sosialspiritual. Denpost - Strategi Sukses di Bali

  • Dalam proyek tersebut juga dilakukan penanaman pohon (sekitar 700.000 pohon) sebagai bagian dari upaya Palemahan. Denpost - Strategi Sukses di Bali

c. Program CSR dan Penghargaan THK

  • LembagaLembaga CSR di Bali memakai kerangka THK sebagai bagian dari penilaian. Ada 'THK-CSR Awards' yang digunakan untuk memantau sejauh mana perusahaan/perhotelan menerapkan tiga unsur THK (parhyangan, pawongan, palemahan). thk-bali-foundation.org

  • Dalam sektor perhotelan: beberapa hotel diwajibkan menggunakan produk pertanian lokal sebagai bagian dari komitmen terhadap THK. Tetapi pemenuhan masih rendah (sekitar 5 % hotel dari total anggota PHRI) yang ikut dalam program penilaian THK. bali.antaranews.com

d. Pendidikan dan Kearifan Lokal

  • Sekolah Kejuruan/Vokasi di Bali telah memperkenalkan kurikulum atau program pendidikan berbasis THK, dimana siswa tidak hanya diajarkan kompetensi teknis tetapi juga karakter, tanggung jawab terhadap alam, dan kesadaran spiritual serta sosial. scholarhub.uny.ac.id+1

  • Selain itu, regulasi pendidikan dan kebijakan pemerintah daerah mendukung pengembangan pendidikan yang berakar pada kearifan lokal dengan filosofi seperti THK. eprints.uny.ac.id+1

3. Upaya Organisasi/Institusi Provinsi dalam Manajemen dan Operasional

Selain kebijakan pembangunan, organisasi dan institusi di tingkat provinsi juga mengambil langkah-langkah untuk mengadopsi THK dalam manajemen internal:

  • Good Governance & Transparansi: Penggunaan THK sebagai nilai dasar dalam tata kelola organisasi pemerintahan. Misalnya dalam pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat adat atau lembaga keagamaan untuk aspek Parahyangan dan Pawongan. KOMPASIANA

  • Lingkungan Organisasi: Pengorganisasian internal instansi provinsi agar operasionalnya ramah lingkungan --- pengelolaan limbah, pengurangan penggunaan plastik, penghijauan kawasan instansi, penggunaan produk lokal, konservasi energi. Palemahan sebagai praktik nyata dalam manajemen sehari-hari.

  • Keterlibatan Masyarakat dan Adat: Organisasi mengikutsertakan masyarakat lokal dan pemangku adat dalam perencanaan dan monitoring proyek pembangunan atau operasional. Misalnya konsultasi publik, penggunaan upacara adat atau tempat suci dalam infrastruktur, dukungan terhadap desa adat atau komunitas lokal.

  • Penilaian dan Indikator yang Terukur: Adanya indikatorindikator THK dalam evaluasi organisasi / lembaga, baik dalam CSR atau penghargaan daerah. Misalnya "THKCSR Awards" menggunakan checklist untuk mengukur seberapa besar instansi atau perusahaan telah memenuhi unsur Parahyangan, Pawongan, Palemahan. thk-bali-foundation.org

4. Dampak, Keberhasilan, dan Tantangan

a. Dampak dan Keberhasilan

  • Meningkatnya kesadaran spiritual masyarakat dan pemangku kepentingan terhadap pentingnya relasi manusia--Tuhan dalam pembangunan, melalui ritual, tempat suci, dan keterlibatan keagamaan.

  • Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan berbasis komunitas. Programprogram padat karya, penggunaan produk lokal, pemberdayaan masyarakat adat atau lokal memberi dampak pada kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.

  • Konservasi lingkungan dan pelestarian budaya berjalan lebih baik di daerah yang menerapkan THK secara kuat --- seperti pengelolaan ruang terbuka hijau, mangrove, menjaga kesucian kawasan suci, pengelolaan sampah dan limbah yang lebih memperhatikan dampak ekologis.

  • Dalam pendidikan, siswa memperoleh pengalaman belajar yang lebih holistik, sensitif terhadap lingkungan dan masyarakat, bukan hanya aspek akademik teknis. Ini mendukung pengembangan karakter yang seimbang (ilmu + nilai + kepekaan lingkungan).

b. Tantangan

  • Instrumen operasional yang kurang jelas: Meskipun filosofi THK diakui, dalam kebijakan teknis banyak aspek belum diatur secara rinci (indikator, standar, mekanisme monitoring & evaluasi).

  • Komitmen politik dan administratif: Untuk mewujudkan THK dalam praktik butuh keberanian politik, koordinasi lintas perangkat daerah, dan dukungan dari atasan. Ada risiko bahwa THK hanya menjadi slogan atau persyaratan administratif (contoh: IMB) tanpa diikuti kontrol dan sanksi.

  • Ketidaksiapan masyarakat/praktisi: Baik masyarakat, pemangku adat, birokrat, maupun pengembang mungkin belum memiliki pemahaman yang memadai tentang THK, atau belum dilengkapi kapasitas untuk menerapkannya secara konsisten.

  • Benturan kepentingan ekonomikomersial: Pembangunan pariwisata, investasi besar, penggunaan lahan yang menguntungkan ekonomi jangka pendek sering kali bertentangan dengan preservasi lingkungan atau adaptasi sosial budaya. Investor bisa menolak komitmen tambahan yang memakan biaya atau menghambat keuntungan. Misalnya KEK KuraKura menolak investor yang tidak sejalan visi THK. Denpost - Strategi Sukses di Bali

  • Globalisasi dan modernisasi: Salah satu dilema adalah bagaimana menjaga nilai-nilai lokal THK tetap hidup di tengah arus globalisasi, urbanisasi, dan tuntutan teknologi serta ekonomi yang cepat berubah.

5. Implikasi untuk Pendidikan IPA dan Pengelolaan Organisasi

Sebagai mahasiswa S2 Pendidikan IPA, ada beberapa implikasi penting:

  • Kurikulum IPA dapat diintegrasikan dengan nilainilai Palemahan: studi tentang lingkungan lokal, biodiversitas, konservasi, perubahan iklim, penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Hal ini tidak hanya teori tapi praktik lapangan dan eksperimen lokal.

  • Pendidikan karakter: integrasi aspek Parahyangan dan Pawongan dalam pendidikan IPA (misalnya refleksi spiritual/etika, kerja sama, tanggung jawab terhadap sesama dan alam).

  • Bagi organisasi pendidikan (sekolah, universitas), adopsi THK dalam manajemen operasional: penggunaan praktek ramah lingkungan (pengelolaan limbah laboratorium, hemat energi, penggunaan material lokal), pengaturan ruang dan fasilitas yang memperhatikan kenyamanan sosial dan spiritual.

  • Penelitian dan evaluasi: penting untuk membuat indikator evaluasi yang mampu mengukur keberhasilan penerapan THK; penelitian berbasis tindakan (action research) di sekolah/universitas untuk mengetahui bagaimana siswa, guru merasakan dan melakukan prinsip THK dalam kehidupan sehari-hari.

Penutup dan Saran

Penutup

Tri Hita Karana bukan sekadar warisan budaya Bali yang elok secara simbolis. Ia adalah paradigma yang memiliki potensi besar menjadi landasan pembangunan provinsi yang manusiawi, berkelanjutan, dan berkeadilan. Ketika prinsip Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan diterjemahkan ke dalam kebijakan pembangunan, regulasi nyata, manajemen organisasi, serta pendidikan, pembangunan tidak hanya menghasilkan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kesejahteraan spiritual, kohesi sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Pengalaman di Bali menunjukkan bahwa ada kemajuan nyata: regulasi yang mengatur pembangunan pariwisata dengan budaya dan lingkungan, proyek khusus yang menanam pohon, penggunaan produk lokal oleh hotel, pendidikan vokasi berbasis THK, dan penghargaan untuk CSR berdasar THK. Namun, implementasi masih belum merata dan banyak tantangan yang harus diatasi agar prinsip THK bukan sekadar slogan tapi bagian intrinsik dari budaya kerja pemerintahan, organisasi, dan masyarakat.

Saran

Berdasarkan analisis di atas, berikut beberapa saran agar penerapan prinsip THK di tingkat provinsi dan organisasi/institusi dapat lebih efektif dan berkelanjutan:

  1. Pengembangan instrumen kebijakan yang konkret dan terukur

    • Membuat indikatorindikator THK yang jelas dalam setiap sektor (pariwisata, infrastruktur, pendidikan, lingkungan) sehingga capaian Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan dapat diukur.

    • Regulasi teknis (misalnya standar bangunan ramah lingkungan, penggunaan produk lokal, penggunaan tenaga kerja lokal, konsultasi masyarakat adat) yang mengikat, bukan hanya bersifat himbauan.

  2. Penguatan kapasitas dan pemahaman pemangku kepentingan

    • Pelatihan dan penyuluhan kepada birokrat, pengembang, masyarakat tentang arti filosofi THK, cara menerapkannya secara praktis, dan manfaatnya dalam jangka panjang.

    • Pendidikan di sekolah dan universitas untuk memasukkan materi THK dalam kurikulum formal baik dalam mata IPA maupun studi lintas disiplin.

  3. Partisipasi aktif masyarakat, komunitas adat, dan lembaga keagamaan

    • Melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan evaluasi proyek.

    • Mengakui peran adat dan keagamaan sebagai pihak yang sah dalam menentukan apa yang dianggap suci / penting secara spiritual serta bagaimana lingkungan diperlakukan.

  4. Integrasi dan sinkronisasi antar perangkat daerah dan lintas sektor

    • Keterpaduan antar sektor (lingkungan, ekonomi, pariwisata, pendidikan) agar kebijakan tidak saling bertentangan.

    • Koordinasi antar provinsi, kabupaten/kota dalam menyusun RPJMD dan RKPD agar prinsip THK terintegrasi dalam dokumen perencanaan jangka menengah dan tahunan.

  5. Monitor, evaluasi, dan sistem penghargaan

    • Mengembangkan mekanisme monitoring & evaluasi reguler untuk proyek dan kebijakan berbasis THK.

    • Memberikan penghargaan atau insentif (pengakuan publik, kemudahan izin, dukungan keuangan) bagi organisasi/pengembang yang menunjukkan komitmen tinggi terhadap THK.

  6. Sustainabilitas dalam pendidikan IPA

    • Melakukan penelitian-aksi di sekolah/universitas untuk mengetahui dampak praktik THK terhadap pemahaman ilmiah siswa dan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kearifan lokal.

    • Mengembangkan sumber belajar lokal yang menggabungkan sains dan kearifan lokal THK, seperti modul lingkungan berbasis flora/fauna lokal, observasi ekosistem lokal, atau laboratorium alam.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun