Mohon tunggu...
كيفن سيرالله
كيفن سيرالله Mohon Tunggu... Humanisme

Pecandu Keheningan | Penikmat Kopi | Membaca Dan Menulis |

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Intrik, Dendam, dan Dalang: Catatan atas Robohnya Wahyu Moridu

22 September 2025   03:41 Diperbarui: 22 September 2025   04:03 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena kejatuhan seorang aktor politik jarang sekali dapat dipahami hanya dari permukaan persoalan yang tampak. Kasus Wahyu Moridu yang muncul melalui sirkulasi video pribadi memperlihatkan bagaimana arena politik lokal di Gorontalo bukan sekadar pertarungan gagasan dan program, melainkan juga pertarungan simbol, moral, dan strategi character assassination. Pertanyaan mengenai siapa dalang di balik peristiwa ini menjadi relevan, sebab politik Indonesia kerap menghadirkan drama di mana serangan personal dijadikan instrumen politik.

Dari Pribadi ke Arena Politik

Meskipun tampak sebagai persoalan pribadi, kasus Wahyu Moridu tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Dalam kajian politik, the personal is political (Hanisch, 1970), artinya ruang privat kerap dipolitisasi untuk kepentingan perebutan kuasa. Video pribadi menjadi instrumen yang sangat efektif, karena selain meruntuhkan moralitas individu, juga sekaligus merusak legitimasi kelompok atau partai yang menaunginya.

Dalam perspektif ini, persoalan Wahyu tidak berhenti pada skandal personal. Ada indikasi bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari permainan politik yang lebih besar: perebutan tiket partai, rivalitas dalam Pilkada, bahkan potensi dendam politik lama yang masih membara. Dengan demikian, kasus ini lebih tepat dipahami sebagai instrumen politikbukan sekadar persoalan moral individual.

Dalang dan Intrik Politik Lokal

Dalam teori politik, kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa internal dan eksternal (Foucault, 1980). Dengan perspektif ini, dalang yang berada di balik robohnya Wahyu Moridu tidak selalu dapat diasumsikan berasal dari lawan politik terbuka. Kemungkinan lain adalah aktor dari dalam partai sendiri atau bahkan kawan politik yang sebelumnya berada dalam satu barisan.

Fenomena “dikhianati oleh kawan sendiri” bukan hal baru dalam politik Indonesia. Dalam kerangka patronase, partai kerap mengorbankan individu demi menyelamatkan citra kolektif. Hal ini selaras dengan peringatan Bung Karno bahwa “musuh paling berbahaya adalah kawan yang berkhianat.” Dengan demikian, serangan yang diarahkan kepada Wahyu dapat dibaca sebagai strategi untuk melokalisasi masalah: dengan menumbalkan satu figur, partai atau kelompok politik berupaya menyelamatkan legitimasi institusional.

Moralitas sebagai Senjata Politik

Joseph Nye (2004) dengan konsep soft power menegaskan bahwa legitimasi moral dan citra jauh lebih menentukan dibanding kekuatan koersif formal. Dalam kasus Wahyu Moridu, persoalan yang menyeruak ke ruang publik bukan hanya soal legalitas, melainkan persoalan moralitas. Hannah Arendt (1972) menyebut situasi semacam ini sebagai the court of public opinion, yakni ketika opini publik menjadi hakim yang lebih cepat daripada lembaga formal.

Fenomena ini juga memperlihatkan apa yang disebut John Locke sebagai rapuhnya kekuasaan tanpa kepercayaan moral. Sekalipun seseorang memiliki kedudukan formal, begitu kepercayaan publik runtuh, legitimasi politik praktis kehilangan fondasinya. Dengan kata lain, moralitas dijadikan instrumen serangan yang efektif, karena ia langsung menyingkirkan ruang rasional untuk pembelaan diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun