Mohon tunggu...
M Bayu Dwi Saputro
M Bayu Dwi Saputro Mohon Tunggu... Seorang debt collector

Hobi membaca, tertarik pada bidang filsafat, literasi, sastra, sejarah, seni, dll.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Hilang

15 Desember 2024   08:38 Diperbarui: 16 Desember 2024   23:09 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yang Hilang (Ilustrasi oleh: Endy Setiawan)

Sebuah bus eksekutif jurusan Jogja-Lampung melaju di jalanan yang berkelok. Matahari sudah mendekati cakrawala. Cahayanya sedikit terhalang pepohonan di pinggir jalan sehingga menimbulkan efek diafan.

Alfath duduk di kursi penumpang paling depan. Enam tahun lamanya dia tidak pulang ke Bandar Lampung. Di tahun 2020 lalu, dia tidak bisa pulang karena pandemi covid-19. Wisudanya juga dilakukan secara online. Di tahun itu juga orang tuanya bercerai. Dia memutuskan untuk tidak pulang dan bekerja sebagai jurnalis di salah satu media surat kabar lokal di Jogja selama dua tahun terakhir.

Dia mendekatkan wajahnya pada kaca jendela yang berembun. Pepohonan melesat. Memicu kelebat kilas-balik dalam benaknya: Kamarnya yang penuh dengan buku-buku serta miniatur kapal layar dan globe yang mungkin sekarang sudah berdebu; ruang makan yang selalu tersedia sayur atau tetumisan serta lauk. Sekarang ruangan itu pasti sepi tanpa hidangan lezat karena orang tuanya sudah tinggal di rumah pasangan barunya masing-masing; warung Bude, tempat tongkrongan favoritnya bersama teman-teman SMA yang mungkin sudah menjadi markas pelajar SMA generasi naru yang tidak dia kenali. Hanya sedikit benda-benda penyimpan kenangan yang dia miliki sekarang. Tapi kenangan itu yang akan selalu dia jaga. Sesuatu yang sedikit lebih mudah dipertahankan.

Sopir bus mengambil sebuah kaset lalu memasukkannya ke dalam tip.

Alfath mendesah. Berharap paling tidak yang akan diputar itu lagu-lagu lawas. Meski tidak terlalu suka, itu lebih baik ketimbang musik DJ organ.

Suara perempuan mendeham. Suara itu berasal dari speaker bus. "Le Petit Prince, Antoine De Saint-Exupery." Kata suara dari speaker itu. Ternyata yang diputar Si sopir itu adalah audio-book. Alfath mengenali novel itu. Dia sudah beberapa kali menamatkannya. Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, mematung sambil melirik Si sopir.

Sopir itu pria berusia antara 35 sampai 40-an atau lebih. Bahunya bidang, tubuhnya cukup atletis namun perutya agak buncit. Bentuk rahangnya tegas dan brewokan. Dia menangkap keheranan Alfath melelui spion tengah, tersenyum, lalu kembali memperhatikan jalan.

Alfath tidak melepaskan pandangannya.

"Sampean tahu buku ini, Mas?," tanya Si sopir sambil tetap fokus pada kemudi.

Sejenak, Alfath tidak menyadari bahwa Si sopir sedang bertanya kepadanya. Tapi Si asisten sopir sedang di buritan. "Oh, saya? Ya, saya pernah baca buku ini."

Si sopir menaikkan volume speaker-nya sedikit. Suara narator perempuan dari speaker membacakan awal bab satu, ketika tokoh utama dari novel itu menggambar ular yang menelan seekor gajah bulat-bulat, namun orang-orang dewasa mengira bahwa itu gambar topi. Hal itu juga pernah dialami Alfath ketika masih kanak-kanak. Dia ingat, waktu itu dia menggambar sesuatu di kertas kosong dengan pena. Ayahnya mengira itu gambar benang kusut. "Bukan, ini gambar rambut Ibu kalau pagi," bantah Alfath Kecil.

Suhu di bus itu terasa semakin dingin. Alfath menutup kepalanya dengan hoodie. "Sampean suka baca buku juga, toh, Om?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi sekarang ini saya sudah nggak pernah baca buku lagi."

"Kenapa?"

"Semenjak jadi sopir, saya suka mendengar buku." Si sopir tersenyum kepada Alfath melalui spion tengah.

Suara perempuan di speaker sesekali terbatuk. Kualitas suaranya juga kurang jernih. Mungkin Si sopir mengunduh yang gratisan di internet. Tapi bagi Alfath, ini jauh lebih bisa dinikmati ketimbang musik-musik yang biasa diputar di bus.

Sepanjang perjalanan, audio-book itu terus diputar. Memang jarang ada sopir bus yang mempertimbangkan apa yang ingin didengar penumpangnya. Alfath menyimak sampai audio-book itu tamat.

Setelah selesai mendengar satu audio-book, Si sopir mempersilakan asistennya untuk memutar lagu. Alfath mulai mengantuk. Dia memejamkan mata, mengatur posisi tubuhnya supaya rileks, berharap dia tidak perlu mendengar apa yang diputar oleh Si asisten, lalu tidur.

Alfath bermimpi tentang Mawar yang kesepian di antara pohon-pohon baobab; raja yang bangga akan kekuasaannya atas planet yang kecil; orang kaya yang gemar menghitung bintang-bintang dan mengklaim bahwa itu semua miliknya; juga Si rubah yang berpisah dengan Pangeran Cilik dan melanjutkan pengembaraannya. Sementara Pangeran Cilik, dia tumbuh dewasa, tinggal di suatu kota metropolitan dan bekerja sebagai office boy. Melupakan Mawarnya.

Alfath terbangun. Dia butuh beberapa saat untuk mengingat bahwa saat ini dia sedang di dalam bus menuju Lampung.

Kabin bus gelap. Hanya diterangi lampu neon biru redup yang menenangkan. Speaker bus tidak bersuara. Kabin didominasi oleh deru mesin yang lembut dan dengkuran penumpang yang tidur.

Alfath melihat jam tangan digitalnya. Pukul dua puluh satu lewat sembilan. Dia memandang jendela. Dari dalam bus, gemerlap lampu-lampu kota dan gedung-gedung tinggi tampak memanjakan mata. Menjadikan Jakarta terlihat seperti utopia yang menjanjikan. Perangkap bagi para "Pangeran Cilik" yang melupakan "Mawarnya."

Sudah lewat tengah malam ketika bus yang ditumpangi Alfath sampai di pelabuhan Merak dan parkir di car deck. Penumpang turun satu-persatu. Bau karet ban dan oli menusuk hidung. Alfath melihat ke sekeliling, mengingat patokan posisi busnya untuk memastikan tidak masuk bus yang keliru nanti. Para penumpang menaiki tangga besi yang mulai korosi dan berbau karat.

Di deck atas, angin berhembus pelan. Membawa aroma laut yang segar, tapi juga memicu rasa mual bagi sebagian penumpang.

Alfath memasuki kabin kapal. Kapal ini kabinnya nyaman. Tersedia bangku empuk beserta meja. Juga ada pertunjukan live music yang baru saja memulai intronya. Kapal ini juga cukup besar sehingga guncangan dari ombak tidak terlalu terasa. Alfath memilih bangku dekat jendela. Hanya ada beberapa bangku yang ditempati penumpang. Sebagian besar penumpang memilih area lesehan supaya bisa rebahan dan tidur.

Seorang pria mendekati Alfath. Dia membawa kopi dalam cup styrofoam. "Saya gabung, ya," katanya, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan kursi Alfath. Pria itu adalah Si sopir.

"Oh, monggo, Om," jawab Alfath. Alfath tersenyum kepada Si Sopir.

"Kamu tinggalnya di mana, Le?"

"Saya tinggal di Bandar Lampung, Om. Di Bukit Kemiling Permai."

"Oalah, BKP, toh."

"Sampean tinggalnya di mana, Om?"

"Kalau saya, di Gedong Aer, dekat TPU." Si sopir melihat-lihat ke jendela. "Kapalnya belum jalan, ya?" Si sopir bergumam sendiri. "Kamu merokok, nggak, Le?"

"Perokok juga, Om. Mau merokok di luar?"

"Iya, tapi nanti sajalah." Si sopir menjulurkan tangannya. "Jenengmu sopo, Le?"

Alfath menjabat tangan Si sopir. "Alfath, Om. Jeneng Sampean?"

"Yudha."

Para musisi baru saja menyelesaikan outronya. Ada penumpang yang menghampiri panggung, lalu memberi tip kepada para musisi.

Alfath jadi ingat, sebelas tahun lalu, ketika dia dan keluarganya berlibur ke Jakarta. Waktu itu ibunya juga memberi tip ke musisi di kabin kapal. Uang yang diberikan sebesar lima ribu rupiah. Alih-alih mengucapkan terimakasih, vokalisnya malah tersinggung, dan mereka berdua berdebat.

Ibu Alfath memang tidak pernah mau kalah dalam perdebatan. Alfath jadi teringat perdebtan-perdebatan ayah dan ibunya yang berakhir dengan pertengkaran karena ternyata mereka berdua sama-sama menyimpan kecurigaan. Dia jadi merasa jengkel.

Alfath mengalihkan pandangan dari panggung ke jendela. Berusaha mengalihkan pikirannya. Dari jendela, dermaga tampak bergerak.

"Nah, kayaknya kapalnya sudah mulai jalan, nih," kata Yudha. Dia mengeluarkan perangkat headset nirkabel dan ponselnya dari saku. "Nah, mumpung nggak bising. Kamu mau dengar juga, nggak, Al?"

"Apaan, tuh, Om?"

"Biasa," kata Si sopi seakan Alfath tahu kebiasaannya. Dia menyentuh-nyentuh layar ponselnya. Matanya menyipit, layarnya agak dijauhkan dari matanya.

Fix, usianya pasti 40 tahun atau lebih, pikir Alfath.

"Kamu sudah baca ini?," tanya Yudha. Dia menunjukkan layar ponselnya kepada Alfath.

Alfath membaca judul sebuah file audio "Sang Alkemis." Yang benar saja!, pikir Alfath. "Ya, saya sudah baca ini." Dia juga membaca tulisannya Paulo Coelho?

"Kalau gitu, kita nggak perlu dengar secara linear."

Yudha memasang headset sebelah, dan memberikan sebelah yang lain kepada Alfath. Yudha memutar audio-book-nya langsung ke bagian ketika Santiago dan rombongan karavan menempuh perjalanan panjang di gurun.

Alfath pernah mendengar suara narator ini. Ini suara yang sama dengan yang diputar di bus.

Narator menceritakan bagaimana Santiago berguru dengan padang pasir. Alfath mendengarkan sambil melihat jendela. Malam itu langit tak berawan. Bintang-bintang tampak jelas. Kata-kata yang mengalir dari narator menciptakan imaji-imaji tentang padang pasir yang meliuk-liuk seperti ombak yang tableau; rombongan karavan yang berjalan di tengah keheningan karena sudah kehabisan bahan obrolan; malam berbintang, navigator bagi pemandu karavan; wajah-wajah yang menjadi cemas setiap mendengar suara unta; oasis yang mulai tampak di kejauhan; juga Fatimah, Si wanita gurun penghuni oasis.

Alfath berpikir, mungkin laki-laki sejati memang harus lepas dari keluarga, berkelana, lalu membangun keluarganya sediri bersama "Fatimahnya." Seharusnya aku tidak melawatkan isyarat yang mungkin diberikan laut, hanya karena kenangan pahit, pikir Alfath. Seperti kata pemandu karavan, "makanlah saat sedang makan, dan berjalanlah saat sedang berjalan.

Narator membacakan kalimat terakhir dari bab itu. Yudha menjeda Audio-book-nya. "Kita istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan di bus. Saya mau 'cari angin' di luar. Kamu mau ikut?

"Ya, boleh," jawab Alfath.

Dari deck, lampu-lampu pelabuhan merak sudah tidak terlihat lagi. Yudha dan Alfath mengeluarkan rokoknya masing-masing. "Mari kita tangkap bahasa Jiwa Universal," Yudha bergurau.

Mereka menyalakan rokok secara bergantian karena Alfath tidak membawa korek. Itu merupakan kebiasaannya yang disengaja supaya dia punya kesempatan untuk berbincang dengan orang asing sambil merokok. Dia tidak suka membunuh waktu dengan scrolling beranda di media sosial.

Yudha menghembuskan nafas. Asap menyembur dari mulut dan hidungnya. Dia memandangi laut yang gelap. "kira-kira, laut ini kelak akan menjadi gurun, nggak, ya?" sisa-sisa asap keluar dari mulut di setiap suku kata yang ia ucapkan.

Dalam perjalanan di gurun, Santiago belajar bahwa segala sesuatu selalu berubah. Bahkan gurun itu dulunya merupakan lautan. Alfath merinding membayangkan bencana apa yang memungkinkan untuk mengubah laut yang luas ini menjadi gurun.

Sejenak, mereka saling diam. Menikmati tembakau masing-masing.

 Setelah beberapa hisapan, Alfath memulai pembicaraan. "File tadi itu rekaman, toh, Om?"

"Iya," jawab Yudha.

"merekam sendiri?"

"Iya." Yudha memandang cakrawala yang gelap.

Jawabannya kali ini singkat-singkat. Alfath berpikir, mungkin Om Yudha memang serius ingin menangkap bahasa Jiwa Universal. Alfath tidak ingin mengganggu sehingga mengurungkan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

"Itu suara 'Fatimahku'," kata Yudha seakan tahu apa yang hendak ditanyakan Alfath. "Dia sengaja merekamnya untuk saya yang jauh dari rumah supaya saya tetap terpaut dengan dua hal yang saya cintai: buku, dan dia.

Alfath menganggukkan kepala. "Sampean beruntung betul, Om!"

"Ya, memang. Dia sudah banyak memberi hal-hal berharga untuk saya. Saya ingin membalasnya, tapi saya bingung. Saya nggak tau caranya."

Alfath mengerutkan dahi, menghisap rokoknya dalam-dalam untuk memberi bahan bakar otaknya supaya syaraf-syarafnya bekerja dengan optimal. "Adakah hal sederhana yang dia sukai? Biasanya hadiah yang sederhana itu terasa lebih manis."

"Tempo lalu, waktu kami masih sama-sama kuliah, dia sering mengajak saya minum milkshake!," jawab Yudha. "Iya juga, ya. Kenapa selama ini saya nggak terpikir untuk memberinya milkshake buatanku sendiri?"

Pendapat orang lain memang kadang solutif. Orang lain berpikir dengan cara yang sederhana karena itu bukan pengalaman dia. Jadi dia berpikir lebih rasional dan sederhana. Tapi apakah solusi dari persoalanku juga sesederhana itu?, pikir Alfath.

Yudha menangkap perubahan air muka Alfath. "Ada yang mengganggu pikiranmu, ya, Al?"

Alfath tidak menjawab.

"Mungkin kita bisa tukeran solusi."

"Ya," akhirnya Alfath menjawab. "Ini juga masalah keluarga, Om." Alfath menceritakan masalahnya kepada Yudha. Walau pun Yudha ini orang asing, tapi, toh, mungkin dia hanya sekali ini bertemu Yudha.

"Kenapa kamu nggak pererat hubunganmu dengan kakakmu? kan mumpung dia belum menikah. Mumpung dia masih tinggal di rumah orang tua."

Benar juga, walau pun sibuk kerja, paling tidak kakak masih tinggal di rumah. Kita bisa cari waktu luang, pikir Alfath. Tapi Alfath masih kurang yakin. Enam tahun lamanya dia tidak bertemu kakaknya. Pasti kakaknya sudah banyak berubah.

"Kalian dulu paling senang main apa?," tanya Yudha.

"Kami dulu paling sering main Play Station berdua, Om," jawab Alfath.

"Nah, coba ajak kakakmu main PS ketika dia pulang kerja atau libur nanti."

Alfath teringat, dia dan kakaknya dulu sering main PS hingga lupa waktu. Dari malam hingga subuh. Ketika mendengar suara pintu kamar orangtua mereka terbuka, mereka dengan gesit mematikan TV dan PS, lalu pura-pura tidur.

 "Terkadang kita terlalu meratapi yang pergi hingga mengabaikan yang tersisa," kata Yudha.

*

Ojek online yang ditumpangi Alfath melintas di antara deretan ruko berplakat siger. Banyak toko-toko baru. Toko-toko yang lama banyak yang sudah tutup. juga semakin banyak rumah-rumah baru, menempati lahan-lahan kosong yang dulunya merumpakan tempat anak-anak bermain bola atau layang-layang. Ke mana mereka sekarang? Mungkin sekarang mereka sedang bermain E-football.

Alfath sampai di pelataran rumahnya. Rumput-rumput liar tumbuh tinggi-tinggi. Cat rumah pudar dengan jamur di setiap sudut.

Alfath masuk dengan kunci yang ditinggal kakaknya. Disembunyikan di bawah pot tanpa tanaman. Di dalam rumah, perabotan tidak sebanyak dahulu. Rumah ini terasa lebih lapang, namun sepi.

Setelah berkeliling sebentar, Alfath ke dapur. Dia membuka tudung saji di meja makan. Kosong. Dia membuka kulkas, kosong dan gelap. Di laci tempat biasa menyimpan bahan-bahan dan bumbu dapur hanya ada teh, gula, dan kopi. Tidak ada bawang, tidak ada jahe dan kunyit. Alfath mondar-mandir ke ruang keluarga, ke halaman belakang, lalu ke dapur lagi, membuka kulkas lagi. Masih kosong. Dia membuka kembali tudung saji di meja makan. Kosong.

Dahulu, Alfath punya kebiasaan membuka tudung saji, menjambal tempe, atau berulang-kali membuka kulkas, berharap Ibu atau ayahnya menyimpan stok minuman dingin atau camilan. Meski terkadang tidak ada yang bisa di makan, paling tidak, waktu itu kulkas masih menyala. Masih mengeluarkan hawa sejuk ketika dibuka. Masih ada bahan-bahan yang menjadi petunjuk kira-kira Ibunya akan masak apa besok.

Setelah merasa cukup menjelajah rumah yang hampir tak ia kenali lagi itu, Alfath tidur di sofa. Dia bangun menjelang malam, lalu menyalakan lampu-lampu rumah. Banyak lampu-lampu putus yang sepertinya memang sengaja dibiarkan. Hanya ruang-ruang tertentu yang memiliki penerangan. Taman, teras, dan garasi, semuanya gelap. Membuat rumah ini jadi seperti rumah kosong.

Suara sepeda motor matic terdengar memasuki pelataran. Mesinnya terdengar kasar. Seperti tidak pernah diganti olinya. Itu Jaka, Si kakak.

Alfath menyambut kakaknya yang baru pulang kerja. Mereka berpelukan. Kakaknya tidak banyak bicara. Hanya menanyakan kabar dan "kapan sampai." Dia lebih sering menatap layar ponselnya sambil rebahan di sofa.

"Mau kubuatkan teh, Mas?," tanya Alfath.

"Kopi aja, Al," jawab Jaka sambil tetap fokus ke layar.

Beberapa menit kemudian, Alfath datang membawa secangkir kopi dan secangkir teh. "Gimana kerjaan?"

"Ya, gitu-gitu aja."

"PS kita kamu simpan di mana?"

"Sudah kujual. Daripada rusak nggak terpakai."

"Kalau TV-nya?"

"Ya sama. Sudah kujual satu paket dengan PS-nya. Lagian siapa yang masih butuh TV?"

Alfath sedikit kecewa. PS itu merupakan salah satu benda kesayangannya. Tapi Alfath tidak bisa marah karena orangtua mereka membelikan console itu untuk dimiliki bersama.

Alfath kehilangan orientasi. Tanpa PS itu, apa yang bisa mereka mainkan bersama? Jaka juga terlihat acuh dengan adiknya. Dia masih sibuk menatap layar ponselnya.

Alfath penasaran dengan apa yang sedang dimainkan kakaknya di smart phone. Dia berdiri, mengintip dari belakang. Layar menampilkan gambar-gambar emblem warna-warni berjatuhan, efek petir, dan Zeus yang terlihat gagah.

Rahang Alfath mengatup kuat. Dia mengemasi barang-barang di kamarnya ke dalam tas dan suit case, lalu pergi.

Di jalan, Alfath hanya terus melangkah tanpa memikirkan tujuan. Sedari awal, niatnya datang ke sini untuk pulang dengan harapan, paling tidak, dia bisa merasakan sedikit nostalgia. Sekecil apa pun, sudah cukup baginya. Dia telah menurunkan ekspektasinya sedemikian rupa supaya tetap bisa menikmati hal-hal kecil yang mungkin masih tersisa di rumahnya. Hal apa pun yang membuat hatinya yakin bahwa dia memang pulang. Namun dia tidak lagi menemukan rumah di sini. Tidak secuil pun.

 *

Siang itu, Yudha membawa segelas milkshake. Tubuhnya berkeringat di dalam kemeja putih berlengan panjang yang dilipat. Wangi parfum beraroma citrus tonic tertinggal di gang yang baru saja ia lalui. Dia berbelok memasuki lahan yang tidak berpaving.

Kakinya melangkah anggak berjingkrak-jingkrak supaya tidak menginjak batu nisan. Sepatunya menginjak ranting-ranting pohon kamboja yang kering. Bergemeretak hampir di setiap langkahnya. Cahaya matahari hanya lolos sedikit dari dedaunan pohon kamboja yang rimbun.

Terakhir kali istri Yudha meminum milkshake adalah ketika mereka masih berpacaran. Setelah menikah, Yudha tidak pernah mengizinkan istrinya meminum milkshake karna istrinya sedang rutin mengkonsumsi obat-obat ARV. Mereka jadi sering bertengkar. Istrinya ingin Yudha melupakan penyakit istrinya supaya mereka bisa menikmati milkshake bersama seperti ketika masih berpacaran. Tapi Yudha selalu menolak. Upaya sekecil apa pun akan dia lakukan selama hal itu bisa memperpanjang harapan hidup istrinya. Setelah sepuluh tahun, baru inilah dia memberikan sesuatu yang selalu diidam-idamkan istrinya.

Dia duduk di samping batu nisan istrinya, menaruh milkshake-nya di samping, lalu memanjatkan do'a, "mengirim" Al-Fatihah. Setelah selesai berdo'a, Yudha menuang milkshake buatannya itu ke tanah makam istrinya. "Kalau saja waktu itu aku tak menganggapmu sakit," katanya. "Paling tidak, kamu bisa berbahagia di hari-hari terakhirmu."

Yudha tertawa. "Betapa bodohnya aku. Bahkan setelah sepuluh tahun kamu 'terbebas' dari penderitaan, baru kemarin aku terpikir untuk memberikan sesuatu yang sejak lama kamu idamkan."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun