Perjalanan dari Jakarta ke Jogja menelan waktu sekitar enam jam dengan kereta. Hari itu aku memutuskan untuk mengambil liburan singkat di akhir pekan—sekadar mencari ide baru, sekaligus mengisi ulang tenaga yang terkuras.
Jogja, bagiku, selalu punya ruang istimewa. Udaranya masih segar, jalannya tidak sesak oleh asap kendaraan, dan jauh dari riuh polusi pabrik. Selain pemandangan yang menyejukkan mata, Jogja juga ramah bagi dompet: kuliner lezat bisa dinikmati tanpa perlu merogoh banyak uang.
Karena itu, berlibur di Jogja tak pernah terasa berat. Dengan sedikit tabungan, aku bisa datang setiap bulan. Bahkan, jika mau, setiap minggu. Entah sudah berapa kali aku singgah di sini—sepuluh kali, dua puluh, atau lebih—aku sudah tak lagi menghitung. Pernah terlintas ingin menetap, namun tabunganku belum cukup. Untuk saat ini, aku masih harus kembali ke ibukota, tempat pundi-pundi rupiah lebih mudah digapai meski jiwa kerap terasa penat.
Kereta tiba di Stasiun Tugu pukul 15.30. Aku turun, menyusuri peron, lalu keluar menuju sebuah warung kopi sederhana yang sudah lama jadi persinggahan. Saking seringnya aku mampir, aku dan pemiliknya saling mengenal. Namanya Bu Marni.
“Bu, seperti biasa, nggeh. Kopi susu pakai es,” sapaku.
Beliau tersenyum lebar.
“Lho, Mas Feri liburan lagi? Banyak sekali uang sampean, hampir tiap bulan ke sini.”
Aku tertawa kecil.
“Ah, Bu. Kalau uangku benar-benar banyak, aku tak akan bolak-balik Jakarta–Jogja. Aku akan menetap di sini. Jogja lebih membuatku betah.”
“Lho, jelas tho. Hidup di Jogja itu santai… tapi ya, pemasukannya juga ikut santai. Hahaha,” jawabnya sambil terkekeh.
Obrolan ringan itu membuatku merasa seakan pulang. Mungkin karena aku terlalu sering singgah, Bu Marni menganggapku seperti anak sendiri.
Tak lama, ia kembali membawa segelas kopi dingin.
“Nah, ini kopinya, Mas. Sekalian tak buatin ubi goreng, kebetulan lagi bagus. Cocok buat sore begini.”
Hangatnya sambutan Bu Marni, aroma kopi, dan ubi goreng yang mengepul pelan, membuatku yakin: setiap kali ke Jogja, aku selalu menemukan potongan kecil kebahagiaan.
Sore itu Jogja tetap ramai, tapi tidak sesesak ibukota. Pengunjung datang dari berbagai daerah; sesekali terlihat turis mancanegara berjalan dengan kamera menggantung di leher, kagum pada setiap sudut kota.
Aku sudah memesan penginapan tak jauh dari Malioboro, agar mudah kemana-mana tanpa perlu menyewa kendaraan. Toh, aku hanya akan bermalam dua malam di sini.
Setelah menghabiskan segelas kopi di warung Bu Marni, aku melangkah menuju penginapan. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari stasiun. Matahari condong ke barat, cahayanya mulai redup, meninggalkan langit dengan semburat jingga. Aku berjalan menyusuri jalan Malioboro, menikmati keramaian, hiruk pikuk pedagang, dan wajah-wajah yang lalu lalang.
Tiba-tiba—
Bruaak!
Bahuku beradu dengan seorang wanita yang tengah berjalan mundur sambil menatap kamera.
“Aduh, maaf ya, Mas!” serunya buru-buru.
Aku tersenyum menenangkan.
“Nggak apa-apa, Mbak. Lain kali hati-hati, ya.”
“Nggih… maaf, Mas,” jawabnya, sedikit kikuk.
Untungnya kami tak sampai terjatuh. Mungkin ia sedang sibuk mengabadikan sore di Malioboro. Aku hanya mengangguk kecil dan melanjutkan langkah.
Setibanya di penginapan, aku meletakkan tas, berganti pakaian, lalu merebahkan diri. Rencananya, aku akan tidur sebentar—satu atau dua jam—sebelum keluar menikmati malam Jogja.
Di usiaku yang hampir menginjak kepala tiga, aku semakin sadar: aku lebih nyaman bepergian seorang diri. Orang menyebutnya introvert, tapi aku tak peduli. Label itu tak penting. Yang kutahu, aku lebih bebas saat sendirian.
Jika ingin berhenti, aku berhenti. Jika ingin melangkah, aku melangkah. Tak perlu ada kompromi, tak ada jadwal yang harus disesuaikan. Sendiri, justru di situlah aku benar-benar bisa menikmati perjalanan.
Malam itu, Malioboro bergetar oleh musik. Iringan angklung, gamelan, dan alat musik modern berpadu dalam harmoni yang indah. Suara riuh penonton dan tawa anak-anak bercampur, menciptakan suasana yang hangat. Aku berdiri di ujung jalan, menikmati setiap nada, sesekali mengangkat ponsel untuk merekam—sekadar kenangan yang bisa kusimpan.
Tanpa sengaja, mataku tertumbuk pada seorang perempuan di tengah kerumunan. Ia mengenakan kemeja kuning polos berlengan pendek, celana panjang hitam, dan sepatu kets sederhana. Rambutnya bergelombang sebahu, kacamatanya membingkai mata bening yang membuatku tak kuasa untuk tidak memperhatikan. Dari raut wajahnya, ia tak tampak seperti orang lokal. Bukan pula gaya orang Jakarta. Ada sesuatu yang berbeda.
Aku memberanikan diri mendekat, menembus kerumunan, lalu menyapanya.
“Hai.”
Ia menoleh, tersenyum tipis. Senyum yang sederhana, tapi cantik sekali.
“Sendirian aja?” tanyaku.
“Iya. Masnya juga?”
“Iya. Sama. Aku lebih suka jalan sendiri—lebih bebas menentukan langkah, tanpa perlu berunding.”
Ia tertawa pelan.
“Aku setuju banget. Aku juga begitu.”
Aku balas tersenyum. “Oh iya, kenalin. Feri, dari Jakarta.”
“Indah,” ucapnya singkat.
“Dari mana, kalau boleh tahu?” tanyaku penasaran.
Ia pura-pura berpikir sebentar, lalu menjawab sambil tertawa, “Dari… tadi di sini, Mas.”
Aku ikut tertawa. “Kebetulan, aku juga dari tadi di sini.”
Tawa kami larut bersama alunan musik. Lalu ia berkata, “Sebenarnya aku dari Kalimantan Selatan.”
“Wow, jauh juga. Banjarmasin?”
“Banjarmasin itu ibukotanya. Aku tinggal lebih jauh, di Balangan. Kota kecil, pasti Mas Feri belum pernah dengar, kan?”
Aku mengangguk jujur. “Iya, baru dengar. Keren banget kamu berani melakukan perjalanan sejauh ini.”
Ia menatap ke arah jalan yang dipenuhi cahaya lampu. “Namanya juga hobi, Mas. Buatku, perjalanan itu bukan sekadar liburan. Tapi cara mencari arti.”
Kalimatnya membuatku terdiam. Dalam sekali. Sementara aku sendiri datang ke Jogja hanya untuk menyegarkan pikiran setelah penat bekerja.
“Sudah berapa lama di Jogja?” tanyaku.
“Baru dua hari. Lusa aku harus pergi.”
“Kalau aku baru sampai sore tadi. Rencananya cuma dua malam. Sekadar refreshing sebelum kembali kerja.”
Ia mengangguk, lalu aku bertanya lagi, “Setelah Jogja, langsung pulang ke Kalimantan?”
“Sepertinya belum. Aku ingin melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur. Mungkin Surabaya dulu.”
Aku semakin penasaran. “Sejak kapan kamu mulai jalan-jalan begini?”
“Kurang lebih tujuh tahun, Mas. Dan selama itu, aku belum pernah pulang ke Kalimantan.”
Aku terbelalak. Tujuh tahun. Bukan terlunta-lunta, karena jelas ia sangat siap. Ia tampak benar-benar seorang pejalan sejati.
“Jujur, aku jadi kepo,” kataku sambil tertawa kecil. “Kamu bikin vlog gitu? Atau dokumentasi perjalanan di sosial media?”
“Wah, saya nggak bikin vlog, Mas. Boro-boro. Untuk tampil di kamera saja saya minder, malu,” katanya sambil tersenyum canggung.
Aku mengangguk. “Oh, jadi kamu benar-benar traveller murni, ya? Aku kira kamu seperti kebanyakan orang sekarang, yang menjadikan sosial media sebagai pekerjaan.”
“Iya, Mas. Banyak sih yang begitu. Sebenarnya pengen juga, tapi belum ada keberanian.”
Aku terkekeh kecil. “Oke… oke. Jadi tujuh tahun kamu jalan begini? Wah, pasti sudah banyak banget daerah yang kamu kunjungi.”
“Alhamdulillah, Mas. Baru Sumatera, Jawa, sama Sulawesi. Bagian timur belum.”
“Wow. Jadi Indonesia Timur masih ada di daftar impianmu? NTT, NTB, Papua?”
“Iya, Mas. Amin, semoga Tuhan kasih umur panjang dan kesehatan. Semoga aku bisa ke sana suatu hari nanti.”
Aku tersenyum tulus. “Amin. Semoga tercapai ya. Dan jujur… aku kagum banget sama kamu. Keren, sumpah.”
Ia menunduk sedikit. “Makasih, Mas.”
Aku memperhatikan wajahnya. Malam itu, Indah tampak benar-benar larut dalam musik. Ia tidak sibuk mengangkat telepon, tidak sibuk merekam. Hanya menikmati. Berbeda dengan perempuan yang kutabrak sore tadi, yang asyik dengan kameranya. Indah… benar-benar indah, seperti namanya. Kesederhanaannya justru membuatnya menonjol. Dalam hati aku bergumam: dia adalah tipeku.
Khayalanku melayang jauh. Aku masih di Malioboro, tapi pikiranku sudah berlari ke pelaminan. Ah, apa-apaan ini. Aku menggeleng, menertawakan diriku sendiri.
Saat tersadar, aku menoleh ke sekeliling. Kerumunan masih ramai, musik masih mengalun. Tapi… Indah hilang.
Aku terperanjat. “Lho, ke mana dia?” Aku melangkah, menyibak orang-orang, mataku mencari sosok berkemeja kuning. Tidak ada.
“Kenapa nggak pamit? Astaga, aku bahkan belum sempat minta nomor WhatsApp-nya,” gerutuku dalam hati.
Aku terus mencari, lima belas menit lamanya. Nihil. Musik perlahan melambat, tanda pertunjukan segera usai. Penonton mulai bubar, Malioboro tetap ramai seperti biasa—kota ini seolah tak pernah tidur. Tapi Indah lenyap, seakan ditelan malam.
Ada rasa kesal, kecewa, dan sedih yang bercampur jadi satu. Rasanya aku baru saja melewatkan kesempatan besar. Seperti menemukan berlian, lalu menjatuhkannya begitu saja.
Aku menengadah, menarik napas panjang. Ya Tuhan… kalau memang Kau berkehendak, izinkan aku bertemu lagi dengan gadis itu. Tunjukkan aku keajaiban-Mu.
Indah. Namanya terus terngiang di kepalaku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI