Aku tersenyum tulus. “Amin. Semoga tercapai ya. Dan jujur… aku kagum banget sama kamu. Keren, sumpah.”
Ia menunduk sedikit. “Makasih, Mas.”
Aku memperhatikan wajahnya. Malam itu, Indah tampak benar-benar larut dalam musik. Ia tidak sibuk mengangkat telepon, tidak sibuk merekam. Hanya menikmati. Berbeda dengan perempuan yang kutabrak sore tadi, yang asyik dengan kameranya. Indah… benar-benar indah, seperti namanya. Kesederhanaannya justru membuatnya menonjol. Dalam hati aku bergumam: dia adalah tipeku.
Khayalanku melayang jauh. Aku masih di Malioboro, tapi pikiranku sudah berlari ke pelaminan. Ah, apa-apaan ini. Aku menggeleng, menertawakan diriku sendiri.
Saat tersadar, aku menoleh ke sekeliling. Kerumunan masih ramai, musik masih mengalun. Tapi… Indah hilang.
Aku terperanjat. “Lho, ke mana dia?” Aku melangkah, menyibak orang-orang, mataku mencari sosok berkemeja kuning. Tidak ada.
“Kenapa nggak pamit? Astaga, aku bahkan belum sempat minta nomor WhatsApp-nya,” gerutuku dalam hati.
Aku terus mencari, lima belas menit lamanya. Nihil. Musik perlahan melambat, tanda pertunjukan segera usai. Penonton mulai bubar, Malioboro tetap ramai seperti biasa—kota ini seolah tak pernah tidur. Tapi Indah lenyap, seakan ditelan malam.
Ada rasa kesal, kecewa, dan sedih yang bercampur jadi satu. Rasanya aku baru saja melewatkan kesempatan besar. Seperti menemukan berlian, lalu menjatuhkannya begitu saja.
Aku menengadah, menarik napas panjang. Ya Tuhan… kalau memang Kau berkehendak, izinkan aku bertemu lagi dengan gadis itu. Tunjukkan aku keajaiban-Mu.
Indah. Namanya terus terngiang di kepalaku.