Aku tersenyum menenangkan.
“Nggak apa-apa, Mbak. Lain kali hati-hati, ya.”
“Nggih… maaf, Mas,” jawabnya, sedikit kikuk.
Untungnya kami tak sampai terjatuh. Mungkin ia sedang sibuk mengabadikan sore di Malioboro. Aku hanya mengangguk kecil dan melanjutkan langkah.
Setibanya di penginapan, aku meletakkan tas, berganti pakaian, lalu merebahkan diri. Rencananya, aku akan tidur sebentar—satu atau dua jam—sebelum keluar menikmati malam Jogja.
Di usiaku yang hampir menginjak kepala tiga, aku semakin sadar: aku lebih nyaman bepergian seorang diri. Orang menyebutnya introvert, tapi aku tak peduli. Label itu tak penting. Yang kutahu, aku lebih bebas saat sendirian.
Jika ingin berhenti, aku berhenti. Jika ingin melangkah, aku melangkah. Tak perlu ada kompromi, tak ada jadwal yang harus disesuaikan. Sendiri, justru di situlah aku benar-benar bisa menikmati perjalanan.
Malam itu, Malioboro bergetar oleh musik. Iringan angklung, gamelan, dan alat musik modern berpadu dalam harmoni yang indah. Suara riuh penonton dan tawa anak-anak bercampur, menciptakan suasana yang hangat. Aku berdiri di ujung jalan, menikmati setiap nada, sesekali mengangkat ponsel untuk merekam—sekadar kenangan yang bisa kusimpan.
Tanpa sengaja, mataku tertumbuk pada seorang perempuan di tengah kerumunan. Ia mengenakan kemeja kuning polos berlengan pendek, celana panjang hitam, dan sepatu kets sederhana. Rambutnya bergelombang sebahu, kacamatanya membingkai mata bening yang membuatku tak kuasa untuk tidak memperhatikan. Dari raut wajahnya, ia tak tampak seperti orang lokal. Bukan pula gaya orang Jakarta. Ada sesuatu yang berbeda.
Aku memberanikan diri mendekat, menembus kerumunan, lalu menyapanya.
“Hai.”