Obrolan ringan itu membuatku merasa seakan pulang. Mungkin karena aku terlalu sering singgah, Bu Marni menganggapku seperti anak sendiri.
Tak lama, ia kembali membawa segelas kopi dingin.
“Nah, ini kopinya, Mas. Sekalian tak buatin ubi goreng, kebetulan lagi bagus. Cocok buat sore begini.”
Hangatnya sambutan Bu Marni, aroma kopi, dan ubi goreng yang mengepul pelan, membuatku yakin: setiap kali ke Jogja, aku selalu menemukan potongan kecil kebahagiaan.
Sore itu Jogja tetap ramai, tapi tidak sesesak ibukota. Pengunjung datang dari berbagai daerah; sesekali terlihat turis mancanegara berjalan dengan kamera menggantung di leher, kagum pada setiap sudut kota.
Aku sudah memesan penginapan tak jauh dari Malioboro, agar mudah kemana-mana tanpa perlu menyewa kendaraan. Toh, aku hanya akan bermalam dua malam di sini.
Setelah menghabiskan segelas kopi di warung Bu Marni, aku melangkah menuju penginapan. Jaraknya tak sampai satu kilometer dari stasiun. Matahari condong ke barat, cahayanya mulai redup, meninggalkan langit dengan semburat jingga. Aku berjalan menyusuri jalan Malioboro, menikmati keramaian, hiruk pikuk pedagang, dan wajah-wajah yang lalu lalang.
Tiba-tiba—
Bruaak!
Bahuku beradu dengan seorang wanita yang tengah berjalan mundur sambil menatap kamera.
“Aduh, maaf ya, Mas!” serunya buru-buru.