Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Photographer, Media Freelancer

Best in Opinion Nominee of Kompasiana Awards 2021 dan 2024 | Peduli menyoal isu-isu terkini terutama sosial-budaya dan gender | Verba Volant Scripta Manent | Semua yang tertulis di sini adalah opini pribadi | Kerja sama: kazena.krista@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Perempuan Sulit Bergaya Hidup Minimalis?

27 Juli 2022   21:16 Diperbarui: 28 Juli 2022   11:59 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan dan gaya hidup minimalis bisa dikatakan sesuatu yang agak bertolak belakang bahkan saya rasa nyaris mustahil bisa diterapkan, meskipun boleh jadi ada saja perempuan yang sudah menjadikannya tren. 

Saya tidak perlu jauh-jauh dulu mencari contoh sebagai latar belakang pada tulisan ini, gaya hidup minimalis akan saya mulai dengan perbedaan pengelolaan waktu antara laki-laki dan perempuan ketika hendak bepergian. 

Waktu untuk tampil "rapi" antara laki-laki dan perempuan jelas boleh jadi berbeda, pemaknaannya—kerap—tidak sama. 

Kebanyakan perempuan terkadang tak masalah berlama-lama (baca: menghabiskan waktu) riweuh dari atas ke bawah: mix and match pakaian, ditambah lagi skincare-an dan make up-an—persiapan perempuan memang seringkali kelewat matang. 

Kebalikannya, seperti sudah menjadi rahasia umum, laki-laki masih bisa terlihat santai lima belas menit sebelum pergi;—atau jika ingin lebih ekstrim, dalam waktu lima menit laki-laki bisa langsung "tancap gas", tak peduli jika adegan itu harus didahului dengan lari tunggang langgang akibat ketiduran. 

Dari sini saja jelas terlihat bahwa sebagian besar perempuan menolak untuk "minimalis" demi terlihat kinyis-kinyis. Sementara laki-laki justeru sebaliknya. 

Minimalis yang sederhana 

Dari beberapa pengertian gaya hidup minimalis yang saya ketahui, sampailah saya pada definisi gaya hidup minimalis versi saya.

Menurut saya, gaya hidup minimalis adalah sebuah cara seseorang dalam memaksimalkan pengelolaan waktu dan uang dengan tepat guna.

Ya, sesederhana itu definisi gaya hidup minimalis sebenarnya—setidaknya dalam logika saya. 

Untuk yang pertama sudah sedikit saya singgung, dan menyoal uang, itu yang akan menjadi jantung tulisan ini. 

Minimalis di mata seorang perempuan

Saya perempuan dan saya tidak keberatan beranggapan bahwa sebagian besar perempuan masih sulit bergaya hidup minimalis. 

Apalagi di zaman modern seperti saat ini dimana segala kemudahan seolah ada dalam genggaman, entah itu mencari ilmu atau membelanjakan cuan. 

Tapi, minimalis bagi perempuan terkadang tidak berlaku saat membelanjakan cuan.

Ada beberapa faktor menurut saya mengapa gaya hidup minimalis tidak cocok bagi perempuan–dan semoga saya tidak dicap sebagai seorang misogini setelah saya memaparkan faktor-faktor tersebut pada tulisan ini. 

Ilustrasi dalam membelanjakan cuan saat berbelanja, perempuan tak mengenal istilah single atau menikah. (Sumber: Pexel.com || Foto oleh Anastasia Shuraeva) 
Ilustrasi dalam membelanjakan cuan saat berbelanja, perempuan tak mengenal istilah single atau menikah. (Sumber: Pexel.com || Foto oleh Anastasia Shuraeva) 

#1 Sulit menyederhanakan—banyaknya—keinginan 

Kebanyakan perempuan kerap dihadapkan pada keinginan-keinginannya yang tak masuk akal. 

Saya sampai harus menggarisbawahi poin ini. Maksud saya, perempuan seperti merasa tak sungkan menumpuk banyak keinginannya itu dalam kepala tentang ingin membeli ini atau membeli itu diluar kebutuhan hidup yang seharusnya—bahkan diluar dari jangkauan keuangannya. 

Baca juga: Nego Gaji Bukan Soal Hitung-hitungan Melainkan Tantangan

Agaknya bagi perempuan itu tak menjadi hambatan. Karena seorang perempuan tak keberatan untuk menabung agar keinginannya itu terwujud. 

Seolah belum cukup, ada lagi yang lebih aneh dari perempuan: membeli sesuatu hanya karena sesuatu itu lucu, kebetulan sedang ada diskon atau hanya karena ikut-ikutan teman—atau parahnya membelinya karena viral di media sosial. 

Beberapa contoh yang baru saja saya sebutkan adalah tabiat perempuan yang justeru bertolak belakang dengan prinsip gaya hidup minimalis itu sendiri. 

Mau kesal, tapi tak boleh. Karena tulisan ini bicara soal perempuan.

#2 Tak paham fungsi 

Tak semua perempuan paham memaknai "fungsi" dari sesuatu yang ia beli.

Buktinya, tidak mungkin ada istilah "ngga ada baju" padahal isi lemarinya penuh. Padahal mungkin macam-macam ada, mulai dari aneka long dress, cardigan, jumlah kemeja yang tak cukup satu, termasuk pula celana dengan ragam bentuk dan warna. 

Itu baru seputar jenisnya, kita belum bicara tentang bagaimana "penempatan"nya yang bisa jadi dibagi dengan banyak turunan lagi seperti pakaian untuk ke kantor (baca: at least tempat kerja), pakaian untuk kencan, pakaian untuk main bareng teman, hang out ke mal, nongkrong di kafe atau lain sebagainya. Sementara—kebanyakan—laki-laki cenderung memakai pakaian yang itu-itu saja. 

Jumlah pakaian yang dimiliki perempuan pada akhirnya akan berkorelasi dengan istilah "ootd" yang belakangan dengan mudah ditemui di laman Instagram. 

Untuk laki-laki sendiri, sementara ini boleh saya katakan, tidak terlalu narsis untuk ber-ootd—alih-alih mereka masih terjebak pemahaman toxic masculinity—meskipun tak menutup kemungkinan tidak sedikit yang melakukannya. 

Namun, saya yakin persentasenya tidak melebihi perempuan. 

Itu baru pakaian—kita—belum bicara yang lain tentang bagaimana perempuan menghabiskan cuan mereka. 

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya perempuan tanpa sadar sedang berlomba-lomba saling mengungguli sesama mereka (baca: di lingkungan mereka baik di sirkel keluarga atau pertemanan), malah tanpa sadar perempuan menciptakan sekat di antara kaum mereka sendiri.

Semua dilakukan acapkali demi GENGSI—pertaruhan demi nama baik, demi harga diri. Atau izinkan saya mengatakannya dengan: demi sebuah pengakuan, demi mendapatkan validasi.

Padahal validasi yang diberikan orang lain tidak selalu berbanding lurus dengan cara seseorang memilih bergaya hidup minimalis. 

Karena gaya hidup minimalis bukan berarti seseorang harus hidup pelit—alih-alih kikir. 

Pilihan dengan gaya hidup minimalis bukan pula tak bisa menerapkan istilah "ada harga ada barang"—hanya saja konsep gaya hidup minimalis ini menekankan "penganutnya" untuk tidak mudah tergiur menuhankan gengsi dibandingkan fungsi dari segala sesuatu yang hendak atau yang telah dibeli. 

Gengsi? 

Perempuan sering berbelanja hanya karena barang itu sedang diskon bukan karena memang butuh untuk dibeli. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Karolina Grabowska) 
Perempuan sering berbelanja hanya karena barang itu sedang diskon bukan karena memang butuh untuk dibeli. (Sumber: Pexel.com | Foto oleh Karolina Grabowska) 
Ups, rasanya itu tidak berlaku bagi Cinta Laura yang beberapa waktu lalu sempat jadi buah bibir karena prinsipnya yang enggan membeli barang-barang branded, dan itu cukup membuat saya tertarik. 

#3 Cara menghibur diri sendiri 

Menghabiskan waktu senggang yang paling menyenangkan bagi perempuan mungkin adalah belanja. 

Dewasa ini aktivitas belanja bahkan sangat jauh dipermudah hanya dengan sistem online. Banyaknya marketplace membuktikan hal tersebut. Jika tak ada cuan, cukup window shopping. Semua dilakukan tanpa perlu repot. Tinggal duduk manis. 

Bagi sebagian besar perempuan, belanja sama halnya seperti sebuah cara lain menghibur diri (baca: boleh jadi dari penatnya rutinitas sehari-hari)—alih-alih memang sudah menjadi hobi?

Saya meyakini, mungkin user dari menjamurnya marketplace di Indonesia dewasa ini adalah para perempuan, baik perempuan lajang atau yang telah menikah. 

Baca juga: Masih Betah Melajang? 6 Hal Ini yang Mungkin Jadi Alasan

Pun saya salah satunya. Tapi, untungnya saya tipikal perempuan yang termasuk hitung-hitungan saat belanja online (baca: tepatnya, dalam membelanjakan uang. Boleh percaya, boleh tidak, uang dua ratus rupiah yang tak dikembalikan oleh kasir minimarket inisial "A" atau "I" tanpa konfirmasi saya saja terkadang bisa bikin saya dongkol dan uring-uringan. (Halo, apa kabar SOP perusahaan?))—entah kalau perempuan lainnya. 

Saya singkatkan saja sampai di sini dan tiga faktor tadi saya rasa cukup; ketiganya sudah bisa menjadi gambaran mengapa tulisan ini dibuat. 

Meskipun demikian, apa yang saya uraikan tadi (baca: tentang mengapa perempuan tampak sulit bergaya hidup minimalis) memang tak sepenuhnya bisa jadi pembenaran—dan jika merujuk pada slogannya LESS IS MORE, konsep gaya hidup minimalis sebenarnya ada untuk menyederhanakan hidup kita. 

Tabik. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun