Bad news is good news
Sengaja saya mengawali topik pilihan kali ini dengan kalimat di atas karena memang kabar buruk tentang PNS bolos kerja menjadi kabar baik bagi saya untuk menuliskan ini.Â
Saya rasa inilah waktunya.
Sebelum jauh saya membahas, saya ingin bercerita sedikit tentang seorang dosen saya yang sangat anti sekali terhadap profesi PNS.
Beliau memberitahu itu ketika beliau mengajar di kelas beberapa tahun ke belakang saat saya menempuh pendidikan diploma komputer.Â
Kata beliau, ketidaksukaannya itu menyoal tentang apa yang mereka dapatkan setelah mereka purna tugas (baca: mendapat gaji pensiunan rutin yang dibayar tiap bulan meski tidak lagi bekerja).
Dosen saya itu beranggapan: ketika seseorang berhenti bekerja atas nama profesi, maka seharusnya berhenti pula lah hak yang selama ini ia dapatkan dari melakukan kewajiban profesi tersebut.
Sebenarnya ada lagi. Apa lagi kalau bukan rentetan "tabiat" buruk kebanyakan PNS yang dari A sampai Z—yang sepertinya mengakar kuat di pikiran beliau.
Namun, demi alasan kesopanan, saya tidak akan membahasnya lebih lanjut.
Baiklah, saya cukupkan sampai di sini. Lagipula, saya tidak dapat menduga apa yang menyebabkan beliau sehingga beliau keukeuh pada pilihannya tentang ketidaksukaannya itu.
Saya berharap sih bukan berangkat dari sesuatu yang dianggap pribadi yang kemudian menimbulkan trauma.
Sesuatu yang tak terbantahkan memang menjadi PNS masih banyak dilirik sebagai profesi; bahkan ada fakta semacam olok-olok bahwa profesi PNS adalah profesi idaman calon mertua (baca: terlebih lagi untuk orangtua yang masuk kategori generasi boomer).
Jika harus jujur ketika ditanya mengapa orang-orang memilih menjadi PNS pastilah tidak jauh-jauh dari hal-hal lumrah yang menjadi rahasia umum di masyarakat seperti gajian tepat waktu, dapat tunjangan selain gaji, dapat uang pensiunan (baca: sekalipun mungkin tanpa harus menyiapkan terlebih dahulu tabungan masa tua)—bahkan hingga SK yang dapat "dititipkan" saat dana mendesak diperlukan.
Baca juga:Â Nego Gaji Bukan Cuma Soal Hitung-hitungan Melainkan Tantangan
Semua yang saya sebutkan dapat diperoleh seorang PNS, tidak peduli pada golongan apa selama dia mengabdikan diri.
Tapi, seperti halnya dengan rahasia umum menyoal ketertarikan seseorang menjadi PNS seperti yang saya kemukakan sebelumnya, ada rahasia umum lain yang pula melekat kuat pada profesi ini—tak peduli di instansi atau departemen apa si PNS ditempatkan.
Ya, yang saya maksudkan adalah perilaku bolos kerja.
Baca juga:Â Bukan Penelitian: Syarat Absurd dalam Sebuah Lowongan Kerja Itu Nyata
Perilaku PNS bolos kerja ini sudah menjadi lagu lama dan boleh jadi dilakukan dengan pola yang berulang, sehingga pada akhirnya menimbulkan simpulan bahwa mereka begitu adanya—meski itu tak selalu benar.
Terkait hal tersebut, pemerintah baru-baru ini telah meneken sejumlah aturan terkait kebiasaan jelek para PNS itu. Selengkapnya bisa dilihat di sini.Â
Menurut hemat saya, alasan tidak masuk kerja jika benar-benar karena sakit, tidak akan terlalu jadi masalah. Meskipun, untuk ini, dibutuhkan kejujuran dari PNS itu sendiri.Â
Namun, pertanyaannya:
Bagaimana jika membolos kerja karena adanya kepentingan?
Oh, orang-orang dengan golongan non PNS pasti akan menjawab: semua orang memiliki kepentingannya masing-masing—bukan cuma PNS saja.
Bolos kerja pada mereka dengan label PNS ini tidak akan terjadi jika mereka memiliki sense of belonging terhadap tempatnya bekerja dan rasa tanggung jawab terhadap profesi sebagai abdi masyarakat.
Atau jika saya dapat bicara secara frontal, PNS berlaku demikian karena mereka beranggapan bahwa gaji yang mereka dapatkan berasal dari pemerintah. Padahal, semua itu didapat melalui pajak kolektif yang berasal dari rakyat.
Ups.
Tindakan pencegahan memang bisa dilakukan, salah satu contohnya menerapkan absensi per individu PNS yang sebisa mungkin tidak dapat dimanipulasi, seperti dengan menggunakan mesin absen melalui scanning retina atau sidik jari selayaknya yang lazim diterapkan di banyak perusahaan atau tempat-tempat kerja selain yang dimiliki pemerintah—atau bahkan melalui wajah.Â
Pertanyaannya adalah:
Jika upaya pencegahan tidak cukup memberikan kesadaran, maka sanksi apa yang dapat diterapkan untuk memberikan efek jera?
Saya sendiri memiliki beberapa ide "gila" terkait hal itu, yang mungkin tidak sepenuhnya dapat membantu (baca: untuk meningkatkan kesadaran demi perbaikan mentalitas para PNS di negeri ini) sekalipun saya menawarkannya.
Tapi, setidaknya saya sudah mencoba. Langsung saja:Â
1) 1/10 Gaji
Ya, lakukan pemotongan gaji yang dikalikan sejumlah berapa hari si PNS tersebut bolos kerja.
Pemotongan gaji yang saya sarankan juga tidak tanggung-tanggung yakni sepersepuluh dari gaji PNS yang bersangkutan—atau lebih tinggi dari itu, lebih baik. Lebih lengkap lagi jika ada pengurangan dana tunjangan.Â
Seperti yang saya katakan tadi, mungkin ketidakhadiran karena sakit boleh dapat pemakluman, namun sanksi tetap HARUS berjalan— hanya saja sanksi yang diterapkan (baca: menyoal pemotongan gaji dan tunjangan) bisa sedikit lebih ringan dari bilangan sepersepuluh tadi asal disertai dengan surat keterangan dokter (baca: jika memang izin sakit ala anak sekolah ini memang layak untuk diterapkan, mengapa tidak?)
2) Cuti tahunan
Selain pemotongan gaji, saya juga menawarkan sanksi lain yakni pemotongan cuti tahunan.
Sehingga, berapa kali si PNS tersebut tidak masuk kerja dalam satu tahun berjalan maka sejumlah hari itu pula lah cuti tahunannya dipangkas.
3) RaporÂ
Rapor juga bisa menjadi pilihan. Penerapannya bisa langsung oleh atasan tempat PNS yang bersangkutan bekerja—namun dengan metode private melalui surat—atau sekalian saja dipampangkan nyata melalui papan informasi.Â
Namun, tentu saja harus ada indikator berapa jumlah hari untuk mendapatkan nilai merah—yang pada akhirnya menjadi acuan untuk PNS tersebut mendapat penurunan jabatan atau penurunan golongan bahkan pemecatan.
Untuk waktu penerapannya sendiri dapat dilakukan per semester—dan tentu saja di luar dari dua sanksi yang telah saya sebutkan sebelumnya.Â
Agar kian makin sempurna, baik pemotongan gaji, pemangkasan cuti dan rapor—ketiganya harus berlaku. Tanpa pengecualian.Â
Ketiga sanksi tadi mungkin boleh jadi memang "kelewatan", namun mungkin tidak untuk PNS yang benar-benar loyal serta memiliki tanggung jawab penuh terhadap profesi dan sadar bahwa sejatinya PNS adalah pelayan masyarakat dan mendapat upah dari pajak rakyat; memposisikan pula dirinya sama seperti para pekerja lain di luar naungan pemerintah.
Apa yang saya tuliskan ini adalah semata-mata bentuk usaha saya untuk peningkatan kinerja para abdi rakyat agar stigma kurang baik yang melekat terhadap profesi PNS memudar di mata masyarakat—alih-alih menilainya sebagai rasa tidak suka.Â
Maka mari berdamai dengan risiko karena hidup memang selalu penuh dengan kejutan yang neko-neko.
Tabik.Â