Mohon tunggu...
Kazena Krista
Kazena Krista Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer

Best in Opinion Nominee Kompasiana Award 2021

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Antara Cinta Segitiga dan Patah Hati, Ada Hikmah yang Harus Diseriusi

13 Agustus 2021   04:09 Diperbarui: 13 Agustus 2021   17:41 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Visualisasi cinta segitiga. (Sumber: Pexel | Foto oleh Karolina Grabowska) 

Manusia itu terkadang menjadi makhluk paling lucu dalam menyikapi cinta dan asmara. Betapa tidak, ambil contoh, tidak ingin diduakan tapi mencari pembenaran ketika—akan atau telah—melakukannya. Hingga, patah hati pun boleh jadi tak terelakkan. 

Boro-boro memikirkan hukum tabur-tuai.

Mari bicara perihal patah hati yang muasalnya cinta segitiga. 

Cinta segitiga dan segala turunannya adalah bentuk kegagalan satu individu mengemukakan apa yang menjadi kebutuhan dan keinginannya terhadap pasangannya—dan mengkomunikasikannya. Itu menjadi definisi tak terbantahkan selain memang tabiat yang mudah "tergoda" terhadap orang lain di luar pasangannya.

Baca juga: Hey, Ini Bacaan Saat Kau Gagal

Setelahnya—seolah bisa ditebak—(baca: jika musababnya cinta segitiga) maka kemungkinan rusaknya hubungan selalu terbuka lebar. Itu hukum alam walaupun boleh jadi ada saja figur-figur yang penuh welas asih untuk memaafkan perbuatan semacam itu. 

Tapi, saya rasa itu tidak banyak—setidaknya saya mengatakan ini berlaku untuk pasangan-pasangan yang menjalin komitmen sebelum menikah (baca: hubungan yang melibatkan banyak hal diluar dari mementingkan perasaan diri sendiri).

Baca juga: Menyoal Pernikahan: Cinta Itu Harus Memiliki, Jika Tidak, Wajib Disudahi

Baca juga: Masih Betah Melajang? 6 Hal Ini yang Mungkin Jadi Alasan

Saya bantu pertegas lagi, rusaknya hubungan akan selalu berhubungan erat dengan patah hati. Itu bisa dimaklumi. "Menikmati" patah hati (baca: meskipun tak satupun orang menginginkannya terjadi) tak semudah menjatuhkan hati terhadap dia untuk pertama kali.

Terlalu memberi hatilah yang jadi musababnya; tak memberi ruang pada diri sendiri untuk mawas, padahal tak menutup kemungkinan seseorang yang padanya dititipkan hati bisa saja bermain "api".

Sayangnya, perihal asmara, jutaan orang di bawah kolong langit ini, ya kebanyakan begitu: kejadian dulu, antisipasi dilewatkan.

Ups.

Dari cinta dan patah hati, tentu saja ada hikmah yang harus diseriusi (baca: dipaksa) jika memang seseorang tidak ingin mengalami hal yang serupa di masa depan.

#Belajar berkomunikasi

Patah hati yang menyakitkan akibat cinta segitiga memang harus diseriusi. Karena bukan tidak mungkin trust issue kelak akan menjadi barang mahal—bahkan mungkin ada saja yang takut memulai menjalin hubungan lagi di masa yang akan datang karena perihal ini (baca: belum selesai dengan trauma masa lalu).

Trust issue yang dituruti jelas akan melahirkan sikap curiga—yang repot bukan satu orang saja; yang curiga dan yang dicurigai kebagian porsi. 

Keduanya sama-sama punya posisi yang tidak enak dan dampaknya bisa membuat keadaan runyam di hari-hari yang akan datang. Parahnya, siklus akan berulang.

Saya tidak bilang kalau saya adalah seseorang yang ahli dan kompeten dalam menasihati seseorang dalam menjalani sebuah hubungan, alih-alih seorang mentor kawakan saat membantu orang lain menyikapi patah hatinya—tidak, bukan begitu, yang ingin saya katakan, seni berkomunikasi dengan pasangan jelas mutlak diperlukan—namun bukan berarti tidak sayang terhadap diri sendiri.

Pandai-pandailah menempatkan diri agar tidak ada yang merasa paling rugi. 

Praktikkan 
Praktikkan "what if" dalam memaknai patah hati dan sembuhlah pelan-pelan. (Sumber: Pexel | Foto oleh Olya Kobruseva) 

#Terlalu Sayang Itu Sakit

Semakin dewasa pemikiran seseorang—atau semakin jelas seseorang dihadapkan dengan realitas (baca: menyoal perasaan dan percintaan) yang ada, seharusnya semakin imbang pula dia memaknai sebuah hubungan. 

Tenang, itu bukan pendapat filsuf manapun, melainkan saya.

Sayang boleh, itu diharuskan. Terlalu yang jangan.

Sehingga menerima apa adanya, tidak masuk dalam "konsep" saya—cinta itu bertumbuh; tidak hanya satu: saling.

Jangan mainkan pola cinta buta. Bahaya!

Oleh karenanya, semua orang akan—harus—kembali pada seni berkomunikasi dengan pemikiran yang dewasa terhadap pasangan untuk mengutarakan—sekali lagi—apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan agar hubungan langgeng tak cuma satu atau dua tahun ke depan.

#Jangan Disesali

Adalah sebuah keangkuhan—setidaknya bagi saya pribadi—jika ada yang mengolok-olok dengan berkata "menjalin hubungan sekian tahun, eh, ternyata, ngejagain jodoh orang".

Bukan begitu cara mainnya. Dengan mengamini olok-olok itu, seseorang sama saja menyesali setiap momen yang dilewatinya dengan pasangannya itu (baca: mantan).

Cukup orang lain yang jahat. Jangan kamu.

Sekalipun yang pernah menjadi pasangan itu tidak akan membersamai hingga akhir hayat—atau parahnya, justeru pada akhirnya ia bersama si partner cinta segitiganya, relakan. Meskipun itu jelas membutuhan waktu.

#Sebuah Jalan Ninja

Patah hati boleh, sakit hati—berkepanjangan—yang jangan; tak perlu membenci begitu rupa apalagi dendam. Cukup pandang sebagai pelajaran tentang bagaimana mengelola perasaan.

Sehingga ikhlas pada akhirnya akan disikapi sebagai satu-satunya jalan ninja, meski boleh jadi pada mulanya akan diawali dengan marah dan tidak terima.

Tolok ukur hubungan yang langgeng adalah komunikasi. (Sumber: Pexel | Valeriia Miller) 
Tolok ukur hubungan yang langgeng adalah komunikasi. (Sumber: Pexel | Valeriia Miller) 

#Selalu Bertandinglah dengan Sebaik Mungkin

Rasa marah mungkin pada akhirnya akan berlalu, ketidakterimaan karena merasa dikhianati pun demikan. Dengan kata lain, saya ingin mengatakan, merisak pasangan terdahulu, semoga tidak jadi pembenaran. Apalagi berharap Tuhan mengabulkan supaya pasangan terdahulu tidak memperoleh kebahagiaan.

Tidak semua pendapat pribadi untuk membela diri dapat dibenarkan. Ingat saja, hubungan yang runyam dan kandas jelas ada yang salah. Tapi—pada kesudahannya—itu bukan berarti bisa dijadikan "alat" untuk mencari salah.

Adalah begini: mainkan "what if" pada saat proses pemulihan pasca patah hati.

Jangan karena angkuh dan merasa benar sendiri, doa-doa yang tidak baik meluncur garang dari bibir dan ditujukan padanya melalui Tuhan.

Ada dua skenario besar dari what if ini: pertama, bisa jadi kau yang tidak baik untuknya—bukan sebaliknya; kedua, bukan rencanamu yang jadi melainkan rancangan Tuhan yang tak bisa diubah.

Boleh satu dipilih, kira-kira saja mana yang paling mendekati—atau sekalian saja keduanya diamini. Namanya juga bagian dari hikmah.

Izinkan saya mengatakan ini: bertandinglah dengan sebaik mungkin. 

Ini bukan kalimat motivasi kemarin sore namun bisa gunakan untuk bertarung mengalahkan diri sendiri.

Ya, memang tak ada yang menginginkan patah hati—apalagi yang berdarah-darah—perihal asmara (baca: sekalipun boleh jadi pelakunya adalah seorang pemula), apalagi jika patah hati itu disebabkan cinta segitiga.

Tak semua orang siap menanggungnya—menyikapinya (baca: dengan berpikir jernih). 

Sulit tapi bukan berarti tidak bisa. Karena sejatinya memang perihal asmara dalam sebuah hubungan yang dijalani—sepanjang usia berjalan—seseorang akan selalu dan selalu dituntut untuk dewasa.

Menjadi dewasa terkadang merepotkan ya?

Ya, begitulah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun