Kembali ke topik, baik kebutuhan dan atau keinginan adalah—dua—hal yang krusial namun sangat manusiawi dalam sebuah hubungan dan—menurut saya—urgensinya bergantung pada individu-individu yang menyikapinya.Â
Setidaknya, bercermin dari pengalaman (baca: yang disertai proses kontemplasi) dari apa yang telah terjadi, izinkan saya memberikan dua (2) simpulan cara saat pelaku melakukan perselingkuhannya.
#1 Dilakukan karena pilihan
Tidak ada kata khilaf untuk sebuah perselingkuhan. Karena perbuatan selingkuh dilakukan dengan penuh kesadaran: logika berperan.Â
Maka, saya dengan percaya diri mengatakan bahwa perselingkuhan dilakukan para pelakunya sebagai bentuk pilihan.
Para pelaku perselingkuhan (baca: saya contohnya) menyadari betul akan hal ini. Si pelaku sudah menimbang akibat-akibat apa yang akan timbul—namun, letak masalahnya adalah si pelaku tetap nekad melakukan itu.Â
Salahkah itu?
Tentu saja!
Ya, perselingkuhan tentu berangkat dari sesuatu yang dirasa salah; tidak terarah. Dengan kata lain, hubungan itu tidak berjalan semestinya.Â
"Pilihan" untuk melakukan perselingkuhan ini juga bisa berangkat dari banyak faktor seperti rendahnya pemahaman seseorang terhadap sebuah nilai komitmen yang diakibatkan relasi yang buruk di masa lalu, merasa lebih baik dari orang lain (baca: merasa lebih tampan/cantik, lebih berduit dlsb) sehingga butuh orang lain untuk dijadikan validasi—hingga tabiat berulang yang menimbulkan semacam "candu".
Untuk poin terakhir, bahkan saya kenal beberapa orang pelakunya; mereka real melakukannya—dan tentu saja tak cukup sekali. Kepercayaan bagi mereka bukan lagi sebagai titik sentral.
#2 Dilakukan karena kesempatan
Selanjutnya, perselingkuhan yang dilakukan karena adanya kesempatan.