Salahkah itu? Jelas tidak.
Saya berani bertaruh, tidak ada satu pun orang di bawah kolong langit ini yang tidak punya—meski hanya satu—standar yang dia ciptakan sendiri demi kata "ideal" untuk seseorang yang dinamakan pasangan.
#5 Komat kamit komit melawan trauma
Pengalaman yang mengakibatkan trauma juga bisa dijadikan alasan.
Hubungan buruk di antara kedua orang tua, rasa sakit hati dari pasangan sebelumnya—bahkan contoh nyata dari pasangan-pasangan (baca: teman atau kerabat) yang malah memilih bercerai setelah bertahun-tahun menikah, semuanya bisa saja jadi trigger.
Rasanya sampai di sini, sudah bisa diterima kan jika seandainya saya katakan sebenarnya tadi saya merasa perlu menarik nafas terlebih dahulu sebelum mengurai poin yang satu ini?!
#6 Belum siap mental adalah perkara revolusi mental
Ada berbagai faktor yang menjadi pemicunya, seperti belum rela melepas masa single dengan segala jiwa bebas yang menyertainya—atau belum siap dengan status pasca menikah yang dipenuhi dengan tuntutan tanggung jawab.
Perkara belum "siap mental" ini juga bisa diisi dengan belum siapnya seseorang tersebut untuk dijadikan figur panutan anak-anak yang kelak dititipkan—dan perkara-perkara yang menyoal kesiapan mental lainnya, tergantung pada siapa pelakunya.
---
Jadi, sudah tahu kan betapa ada banyak sekali alasan mengapa orang-orang di luar sana memilih belum menikah?Â
Tanpa orang bertanya pun, mereka sebenarnya sudah memikirkan itu. Hanya saja boleh jadi mereka tidak ingin grasa-grusu—alih-alih malah bertindak kalem dengan cara mereka.
Karena mereka mungkin tahu dan telah pula mengaminkan satu pepatah bijak: kekhawatiran tidak akan melenyapkan masalah yang akan terjadi besok tapi yang jelas itu telah mengambil rasa damainya hari ini.
Belum menikah dan masih betah melajang? So what? Bukankah pada akhirnya menikah hanyalah salah satu cara tentang bagaimana manusia berbagi cinta dan menikmati kasih sayang?Â
Tabik.