Pagi itu matahari bersinar cerah, angin berhembus pelan seakan mengajak siapa pun untuk keluar rumah. Aku bangun tidur, mandi, lalu sarapan seperti biasa. Hari itu terasa begitu biasa… sampai sebuah suara memanggil dari luar rumah.
“kay, kay, main yuk!” teriak temanku.
Aku yang mendengarnya langsung berlari meminta izin orang tua. Begitu diizinkan, aku segera keluar dan bertemu dengannya.
“kay, kita main apa hari ini?” tanyanya penuh semangat.
“main sepeda aja, mau?” jawabku.
Ia mengangguk cepat, lalu kami pulang sebentar untuk mengambil sepeda masing-masing.
Kami mengayuh sepeda beriringan, tertawa sambil menikmati udara pagi. Hingga di tengah jalan, kami menemukan sebuah turunan curam. Mata temanku berbinar penuh ide nakal.
“kay, coba kita main sepeda di turunan itu,” ajaknya.
Aku langsung menolak, merasa itu berbahaya. Namun, ia terus meyakinkanku dengan berbagai alasan. Lama-lama, aku goyah dan akhirnya setuju. Kami pun bersiap.
Ketika sepeda mulai meluncur, jantungku berdegup kencang. Aku merasa tidak yakin, segera turun dari sepedaku. Tapi temanku tetap nekat. Dalam sekejap, ia terjatuh. Aku panik.
Di saat bersamaan, sepedaku yang terlepas melaju deras ke bawah. Aku mencoba mengejarnya, tapi sia-sia. Rodanya berbelok tak terkendali. Aku ketakutan—sebelah kanan sawah, sebelah kiri sungai. Kalau jatuh ke sungai, tamatlah sudah.
Untungnya, sepeda itu terguling ke sawah, bukan ke sungai. Meski lega, rasa panikku belum hilang. Aku dan temanku berlari mendekat, lalu tertawa hambar melihat betapa konyolnya kejadian itu. Rasa menyesal menyeruak dalam hatiku: kenapa aku tadi setuju ikut-ikutan bermain di turunan curam?
Kami akhirnya berusaha mengangkat sepeda yang penuh lumpur itu. Berat sekali, tapi dengan kerja sama, sepeda berhasil kami selamatkan. Walau kotor, setidaknya tidak rusak parah.