Aku langsung menolak, merasa itu berbahaya. Namun, ia terus meyakinkanku dengan berbagai alasan. Lama-lama, aku goyah dan akhirnya setuju. Kami pun bersiap.
Ketika sepeda mulai meluncur, jantungku berdegup kencang. Aku merasa tidak yakin, segera turun dari sepedaku. Tapi temanku tetap nekat. Dalam sekejap, ia terjatuh. Aku panik.
Di saat bersamaan, sepedaku yang terlepas melaju deras ke bawah. Aku mencoba mengejarnya, tapi sia-sia. Rodanya berbelok tak terkendali. Aku ketakutan—sebelah kanan sawah, sebelah kiri sungai. Kalau jatuh ke sungai, tamatlah sudah.
Untungnya, sepeda itu terguling ke sawah, bukan ke sungai. Meski lega, rasa panikku belum hilang. Aku dan temanku berlari mendekat, lalu tertawa hambar melihat betapa konyolnya kejadian itu. Rasa menyesal menyeruak dalam hatiku: kenapa aku tadi setuju ikut-ikutan bermain di turunan curam?
Kami akhirnya berusaha mengangkat sepeda yang penuh lumpur itu. Berat sekali, tapi dengan kerja sama, sepeda berhasil kami selamatkan. Walau kotor, setidaknya tidak rusak parah.
Dengan perasaan lega bercampur lelah, aku mendorong sepedaku pulang, sementara temanku berjalan di belakang. Sampai di rumah, aku membersihkan sepeda, sedangkan temanku mengobati lukanya. Kami sempat bercanda untuk mencairkan suasana.
Namun, saat semua terlihat kembali normal, tiba-tiba ibuku muncul dari dalam rumah sambil melipat tangan di dada.
“jadi, kalian habis main di turunan curam itu, ya?”
Aku dan temanku langsung saling pandang. Senyum kami mendadak hilang. Rupanya, kejutan sebenarnya baru dimulai—karena penyesalan tak hanya datang dari sepeda yang jatuh, tapi juga dari hukuman yang menanti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI