Dengan perasaan lega bercampur lelah, aku mendorong sepedaku pulang, sementara temanku berjalan di belakang. Sampai di rumah, aku membersihkan sepeda, sedangkan temanku mengobati lukanya. Kami sempat bercanda untuk mencairkan suasana.
Namun, saat semua terlihat kembali normal, tiba-tiba ibuku muncul dari dalam rumah sambil melipat tangan di dada.
“jadi, kalian habis main di turunan curam itu, ya?”
Aku dan temanku langsung saling pandang. Senyum kami mendadak hilang. Rupanya, kejutan sebenarnya baru dimulai—karena penyesalan tak hanya datang dari sepeda yang jatuh, tapi juga dari hukuman yang menanti.Tema: Menyesal
Pagi itu matahari bersinar cerah, angin berhembus pelan seakan mengajak siapa pun untuk keluar rumah. Aku bangun tidur, mandi, lalu sarapan seperti biasa. Hari itu terasa begitu biasa… sampai sebuah suara memanggil dari luar rumah.
“kay, kay, main yuk!” teriak temanku.
Aku yang mendengarnya langsung berlari meminta izin orang tua. Begitu diizinkan, aku segera keluar dan bertemu dengannya.
“kay, kita main apa hari ini?” tanyanya penuh semangat.
“main sepeda aja, mau?” jawabku.
Ia mengangguk cepat, lalu kami pulang sebentar untuk mengambil sepeda masing-masing.
Kami mengayuh sepeda beriringan, tertawa sambil menikmati udara pagi. Hingga di tengah jalan, kami menemukan sebuah turunan curam. Mata temanku berbinar penuh ide nakal.
“kay, coba kita main sepeda di turunan itu,” ajaknya.