Mohon tunggu...
Katalis Institute
Katalis Institute Mohon Tunggu... Goresan pena lebih tajam dari pisau belati

Belajar membaca

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Subversi Penundaan Pilkades: Bentuk Otoritarianisme Gaya Baru di Sampang

14 September 2025   16:06 Diperbarui: 14 September 2025   18:05 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aziz Muslim Haruna 

Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) merupakan instrumen fundamental dalam demokrasi lokal. Ia bukan sekadar proses rutin delapan tahunan untuk memilih pemimpin desa, melainkan wujud nyata kedaulatan rakyat di tingkat paling bawah. Desa sebagai entitas politik sekaligus administratif menjadi basis kekuasaan paling strategis, sebab dari desa lahir legitimasi sosial, politik, dan ekonomi yang menopang dinamika pemerintahan daerah hingga nasional.

Namun, di Kabupaten Sampang, perjalanan demokrasi desa telah mengalami pembelokan yang serius. Sejak 2021, Pilkades ditunda dengan alasan pandemi Covid-19. Keputusan itu pada mulanya dianggap logis, mengingat pandemi membawa keterbatasan mobilitas dan risiko kesehatan. Tetapi, perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa penundaan Pilkades bukan semata-mata berangkat dari situasi darurat kesehatan, melainkan sarat dengan motif politik dan kepentingan kekuasaan.

Dalam praktiknya, penundaan Pilkades membuka ruang bagi bupati untuk menunjuk Penjabat Kepala Desa (PJ Kades), yang kemudian menjadi instrumen politik transaksional. Fenomena ini mencerminkan state capture dan clientelism, di mana desa dikendalikan bukan sebagai arena partisipasi warga, tetapi sebagai mesin politik untuk kepentingan elektoral. Dampaknya nyata: Partai NasDem, tempat bupati bernaung, berhasil meningkatkan jumlah kursi di DPRD Sampang dari 6 menjadi 15 pada Pemilu 2024, sekaligus mengantarkan kadernya ke DPR RI berkat kontrol suara desa.

Inkonsistensi Logika Penundaan dan Transaksional Kekuasaan

Alasan resmi penundaan Pilkades pada 2021 adalah pandemi Covid-19. Pemerintah daerah merujuk pada kondisi darurat kesehatan untuk menunda proses pemilihan hingga 2025. Namun, secara epistemologis, alasan ini rapuh. Jika memang pandemi menjadi variabel utama, seharusnya penundaan tidak dibatasi tahun tertentu, melainkan mengikuti status kedaruratan kesehatan itu sendiri.

Dengan menetapkan tahun 2025 sebagai batas waktu, pemerintah daerah telah memasukkan unsur non-pandemi dalam kalkulasi kebijakannya. Hal ini sejalan dengan pandangan Guillermo O'Donnell (1994) mengenai delegative democracy, di mana pemimpin cenderung menggunakan alasan formal untuk memperluas diskresi kekuasaan di luar batas legitimasi rakyat.

Penunjukan Penjabat Kepala Desa (PJ Kades) menjadi implikasi langsung dari penundaan Pilkades. Dalam konteks teori politik, fenomena ini dapat dibaca melalui kerangka state capture (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000), yakni ketika kekuasaan negara dimanfaatkan oleh elite politik untuk mengendalikan institusi demi keuntungan kelompok tertentu.

Bupati sebagai pemegang kewenangan penunjukan PJ Kades memiliki ruang diskresi yang luas. Diskresi ini menciptakan pola transaksional: siapa yang direkomendasikan, siapa yang didukung, dan siapa yang kemudian loyal kepada bupati serta mentor politik di balik layar. Desa, alih-alih sebagai arena pemberdayaan dan partisipasi, justru menjadi "mesin politik" yang dikendalikan dari pusat kekuasaan kabupaten.

Fenomena ini juga bersinggungan dengan konsep clientelism (Kitschelt & Wilkinson, 2007), di mana relasi politik dibangun berdasarkan pertukaran keuntungan material dan politik antara pemimpin dengan aktor lokal. PJ Kades, dalam skema ini, berperan sebagai perpanjangan tangan bupati sekaligus broker politik yang memastikan mobilisasi suara di tingkat desa.

Desa sebagai Basis Kekuatan Elektoral

Dalam praktiknya, penundaan Pilkades membuka ruang bagi Bupati untuk menunjuk Penjabat Kepala Desa (PJ Kades), yang kemudian menjadi instrumen politik transaksional. Fenomena ini mencerminkan state capture dan clientelism, di mana desa dikendalikan bukan sebagai arena partisipasi warga, tetapi sebagai mesin politik untuk kepentingan elektoral.

Melalui PJ Kades, Partai Nasdem dengani Kadernya yang menjabat Bupati berhasil memastikan konsolidasi suara bagi Partai NasDem. Jika sebelumnya NasDem hanya memiliki 6 kursi di DPRD Sampang, pasca 2024 perolehan kursinya melonjak tiga kali lipat menjadi 15 kursi. Ini bukan sekadar lonjakan angka, melainkan transformasi kekuasaan yang mengubah peta politik lokal secara drastis.

Secara teoretis, fenomena ini menunjukkan praktik electoral authoritarianism (Schedler, 2006), di mana prosedur pemilu tetap berlangsung, namun hasilnya telah direkayasa melalui kontrol sumber daya negara dan mobilisasi struktur lokal.

Di balik kemenangan Partai NasDem di Sampang, ada cerita menarik mengenai terpilihnya Willy Aditya sebagai anggota DPR RI. Secara mengejutkan, Willy Aditya berhasil melenggang ke Senayan untuk yang kedua kalinya, padahal ia nyaris tidak pernah terlihat atau berinteraksi langsung dengan masyarakat Madura. Kemenangan ini menunjukkan bahwa dominasi suara di Sampang menjadi faktor kunci yang mengantarkannya ke tingkat nasional.

Fenomena ini menunjukkan sebuah ironi dalam praktik demokrasi. Seorang calon legislatif bisa mendapatkan dukungan elektoral yang signifikan tanpa harus membangun basis sosial atau koneksi personal yang kuat di lapangan. Kemenangan Willy Aditya seolah membuktikan bahwa kehadiran fisik dan interaksi langsung tidak lagi menjadi syarat mutlak untuk meraih suara.

Kemenangan ini secara jelas memperlihatkan bagaimana desa yang berada di bawah kontrol politik yang ketat bisa menjadi mesin suara yang sangat efektif. Struktur kekuasaan lokal, yang dimobilisasi oleh elit politik, mampu mengarahkan dukungan suara ke calon tertentu, bahkan jika calon tersebut tidak dikenal oleh masyarakat. Desa bukan lagi sekadar wilayah administratif, melainkan instrumen politik yang kuat.

Kondisi ini menegaskan bahwa legitimasi elektoral tidak selalu berbanding lurus dengan dukungan sosial yang tulus dari masyarakat. Sebaliknya, legitimasi tersebut dapat diperoleh melalui mekanisme kontrol politik yang terstruktur, di mana suara diatur dan diarahkan oleh kekuatan politik tertentu. Hal ini menciptakan sebuah sistem di mana partisipasi publik yang otentik dikesampingkan.

Kasus Willy Aditya di Sampang menjadi contoh nyata dari sebuah model politik di mana suara dimobilisasi bukan karena popularitas atau kedekatan kandidat dengan rakyat, melainkan karena kendali politik yang efektif terhadap struktur desa. Ini adalah pengingat bahwa di balik angka-angka pemilu yang fantastis, seringkali ada proses yang jauh lebih kompleks dan tersembunyi yang membentuk hasil akhir.

Skenario Penundaan Lanjutan

Ketika memasuki 2025, Pilkades yang dijanjikan tetap tidak terlaksana. Dalih baru pun muncul: menunggu Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari revisi Undang-Undang Desa. Strategi ini memperlihatkan pola berulang, yakni menjadikan kekosongan atau ketidakpastian hukum sebagai instrumen penundaan.

Secara politis, situasi ini membuka celah untuk penundaan Pilkades yang lebih panjang. Ketidakpastian terkait penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) dapat dijadikan alasan untuk tidak mengalokasikan anggaran Pilkades dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2026. Bahkan, jika PP tersebut baru terbit setelah RAPBD disahkan, ketiadaan anggaran akan kembali menjadi dalih untuk menunda pelaksanaan Pilkades.

Bahkan ketika anggaran dimasukkan melalui APBD Perubahan, celah penundaan tetap terbuka melalui isu sinkronisasi dan harmonisasi peraturan, mulai dari UU Desa, PP, perda, hingga perbup. Strategi killing time ini berpotensi mendorong penundaan hingga 2028.

Jika skenario ini berjalan, maka Pilkades akan berbenturan dengan agenda politik nasional menjelang Pemilu 2029. Moratorium Pilkades oleh Kementerian Dalam Negeri dapat dijadikan dalih baru untuk menunda. Dengan begitu, bupati akan sukses mempertahankan kendali atas desa hingga 2029, yang secara politis sangat menguntungkan bagi NasDem.

Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki peran krusial. Mereka harusnya menjadi lembaga pengawas yang memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Namun, ada kekhawatiran bahwa DPRD justru akan melegitimasi hasrat politik penguasa dengan tidak mempertanyakan atau menuntut alokasi anggaran Pilkades.

DPRD sebagai Penjaga Kedaulatan Rakyat

DPRD seharusnya menjadi penjaga kedaulatan rakyat, bukan sekadar stempel bagi kebijakan eksekutif. Dengan membiarkan anggaran Pilkades tidak dialokasikan, DPRD secara tidak langsung turut serta dalam mengabaikan hak politik masyarakat desa. Ini adalah pengingat bahwa fungsi DPRD adalah mewakili kepentingan rakyat, bukan melegitimasi manuver politik segelintir elit. 

Oleh karena itu, masyarakat memiliki peran krusial. Jika masyarakat tidak menuntut haknya, praktik semacam ini akan terus berlanjut. Pilkades yang ditunda hingga 2029 akan menjadi bukti nyata bahwa faktor politik jauh lebih dominan daripada aspirasi rakyat. Sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa kekuasaan sesungguhnya ada di tangan mereka, dan harus digunakan untuk menuntut keadilan.

Apabila masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tidak peduli, maka Pilkades (Pemilihan Kepala Desa) berpotensi baru akan diselenggarakan setelah Pemilu 2029. Hal ini karena penundaan tersebut lebih didasari oleh motif politik yang kuat, bukan karena masalah hukum atau birokrasi.

Situasi ini menciptakan regresi serius terhadap demokrasi partisipatoris. Hak rakyat desa untuk memilih pemimpin secara langsung digantikan dengan logika transaksional, yang berpotensi melahirkan apatisme politik maupun konflik horizontal. Dalam kerangka akademis, penundaan Pilkades di Sampang adalah bentuk instrumentalization of democracy, di mana prosedur demokrasi dimanipulasi untuk memperkuat dominasi kekuasaan.

Apa yang terjadi di Sampang tidak bisa dipandang sekadar teknis administratif. Ini adalah bentuk pemangkasan hak politik rakyat desa. Demokrasi desa dipasung melalui strategi penundaan dan penunjukan PJ Kades. Hak warga untuk memilih pemimpin secara langsung dikorbankan demi kalkulasi elektoral elit politik.

Jika menggunakan perspektif demokrasi partisipatoris (Pateman, 1970), situasi ini merupakan regresi serius. Desa yang seharusnya menjadi arena pendidikan politik justru menjadi laboratorium kontrol kekuasaan. Partisipasi warga tidak hanya dikebiri, tetapi juga digantikan dengan logika transaksional.

Konsekuensi jangka panjangnya adalah hilangnya legitimasi politik. Pemerintah daerah mungkin memperoleh kemenangan elektoral, tetapi kehilangan kepercayaan sosial. Pada titik tertentu, kondisi ini berpotensi menciptakan apatisme warga desa terhadap demokrasi, atau bahkan memicu konflik politik horizontal di akar rumput.

Ancaman Jangka Panjang

Penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Sampang menunjukkan bahwa proses demokrasi di tingkat desa dapat dengan mudah dimanipulasi. Meskipun alasan yang digunakan, seperti pandemi, ketidakpastian regulasi, atau moratorium politik, terlihat masuk akal, semua itu hanyalah instrumen untuk menunda hak rakyat dalam memilih pemimpin mereka. Di balik alasan-alasan tersebut, ada motif kekuasaan yang lebih dalam.

Penundaan ini mengikis kedaulatan rakyat desa. Alih-alih mendapatkan pemimpin yang dipilih secara demokratis, desa dikelola oleh pejabat yang ditunjuk. Kondisi ini membuat desa rentan dikontrol oleh elit politik yang berkuasa. Dengan menguasai desa, pihak-pihak ini bisa memastikan dukungan suara pada pemilihan umum di tingkat yang lebih tinggi, mengancam legitimasi politik nasional secara keseluruhan.

Jika manipulasi ini terus terjadi, demokrasi lokal akan runtuh. Desa menjadi semacam "mesin suara" yang dikendalikan dari atas. Dalam konteks pemilu nasional, ini berarti sebagian besar kontestasi elektoral sudah dimenangkan bahkan sebelum pertarungan dimulai. Mengendalikan desa sama dengan menguasai 80 persen basis suara, dan ini mengancam keadilan serta integritas pemilu.

Secara teoretis, fenomena ini dikenal sebagai instrumentalization of democracy. Artinya, prosedur-prosedur demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk memperpanjang dan memperkuat kekuasaan elit politik, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Alih-alih menjadi wadah partisipasi, demokrasi berubah menjadi alat manipulasi.

Pada akhirnya, yang paling menderita dari praktik ini adalah rakyat desa. Mereka harus menanggung beban politik yang bukan berasal dari pilihan mereka sendiri. Kedaulatan dan suara mereka dipinggirkan, digantikan oleh kepentingan para elit. Pertanyaannya sekarang adalah, sampai kapan rakyat desa harus terus menjadi korban dari permainan politik yang mengorbankan hak-hak dasar mereka?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun