Aku tidak menuntutnya, bukan karena tidak perlu. Aku tidak memintanya bukan karena tak butuh. Namun ia terlalu rapuh untuk itu. Aku menyadari, betapa ia transparan dan kaku.Â
Lantas kuingat,--ketika di awal kita bertemu, dia adalah pemuda ceria dan penuh tawa. Agresif, dan suka bercanda.Â
Namun baik aku maupun dia, tidak pernah mencoba untuk mengungkitnya. Soal tawa yang kini mulai memudar. Soal rasa yang terlihat semakin hambar.Â
Aku tahu, bahwa itu bukan karena dia sudah tak Cinta. Kasih itu, semakin menumpuk dalam diamnya. Cinta itu selalu ada dalam bisunya. Rindu itu, melekat dalam sentuhannya.
Hanya saja, kita sedang di fase uji-coba. Untuk mendapatkan nilai akhirnya.Â
Semuanya terasa sulit, segalanya terlihat rumit. Lelahnya terkesan enggan. Rinduku selalu membuat salah faham.Â
Namun kita tidak mencoba menyelesaikannya. Karena dia tahu, aku adalah rumahnya. Karena aku tahu, dia adalah kasihku.Â
Iya. Hidup memang selucu itu,--tapi kita tidak ingin tertawa. Karena dalam praktiknya kita tidak sedang bercanda. Hanya saja, saat melihat ke depan, semuanya buntu. Lalu saat berbalik ke belakang, ternyata sudah sejauh itu.
Kita tidak tahu ada apa di hari esok. Namun apa yang sudah terjadi, membuat kita mengerti bahwa ternyata kita pernah melewatinya.Â
Lantas ketika hari itu benar-benar buruk, kami hanya saling melempar tanya dalam canda. "Sayang! Apa kabar hari ini? Masih semangat hidupnya?"Â
Dalam senyum yang getir, kita hanya melanjutkan lagi nafas,--bagaimanapun keadaannya. Tanpa harap. Karena kebersamaan itu sendiri, adalah sebuah berkat. Bukan?