Mohon tunggu...
Karunia Nurma
Karunia Nurma Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nyala Obor

31 Agustus 2017   19:13 Diperbarui: 1 September 2017   08:50 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaget, Dian bingung.

"Iya Nak, nanti Nini datang sama Dian, hati-hati pulangnya," sahut Nini.

Selama perjalanan pulang, Nini bertutur banyak hal. Di balik alas ini, ada Desa Tunggang, penduduknya mayoritas Buddha, mereka mengagungkan Dewa. Dan kita, sebagai manusia yang baik harus bisa menghargai perbedaan itu.

"Tidak boleh mencela satu sama lain," kata Nini.

Dian jadi ingat pelajaran IPS di sekolah, tapi baru kali ini Dian bertemu dengan orang beda agama. "Dian baru paham, Ni," jelas Dian sambil mengingat-ingat isi LKS IPS, buku wajib di sekolahnya.

Malam tujuh belasan, di Desa Larangan mengadakan panggung gembira. Tapi Nini dan Dian pamit pada Bapak dan Ibu untuk bermalam di alas. Ada gubuk di dekat alas mereka, jaraknya hanya terpaut satu alas dari alas Nini. Mereka bertemu dengan Damar yang sudah entah sejak kapan terlihat berdoa di depan batu besar itu. Mendengar pijakan kaki dan desas-desus, Damar segera mengakhiri semedinya. Dia menyambut Dian dan Nini. "Wah, senang sekali kalian datang," kata Damar antusias.

Mereka pun berjalan melewati satu alas dari tempat itu, alas milik Mbah Parna, menuju gubug. Tepat maghrib, mereka sampai. Damar bergegas menyalakan Obor dan di tempatkan di sisi-sisi gubug, dan satu di letakkan di tengah-tengah. Tak ada yang berpikiran untuk ke alas malam Agustusan begini, jadi alas begitu sepi. Tapi mereka memang sudah akrab dengan alas ini, seperti rumah kedua.

"Dian, kamu tahu tidak, kenapa aku suruh kamu bawa obor?" Tanya Damar mengajak berbincang.

Sementara Nini menyiapkan makan malam kami, membakar ikan di depan gubug.

"Ya tahu lah, kan buat penerang. Emangnya mau gelap-gelapan di tengah hutan," jawab Dian jutek.

"Iya benar sekali, seperti kita,"katanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun