Kondisi ini bukan sekadar drama, tapi sudah jadi fenomena sosial yang banyak terjadi di hubungan pertemanan, keluarga, bahkan asmara.
Psikolog menyebut ini sebagai "forgiveness fatigue", kelelahan emosional akibat terus-menerus memaafkan tanpa adanya perbaikan dari pihak yang bersalah. Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan bahwa memaafkan secara berulang tanpa resolusi yang jelas justru bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Jadi, kalau kamu merasa lelah, itu wajar. Hati juga perlu batasan, seperti pagar rumah yang mencegah maling masuk berulang kali.
Tidak Memaafkan Bukan Berarti Kamu Jahat
Di masyarakat kita, ada tekanan sosial yang kuat untuk selalu memaafkan. "Jangan pendendam, nanti hidupmu nggak tenang."
Tapi apakah semua orang layak dimaafkan? Apakah memaafkan berarti membiarkan diri terus jadi korban?
Tidak memaafkan bukan berarti kamu menyimpan kebencian. Kadang, itu hanya cara untuk melindungi diri. Kalau seseorang sudah berkali-kali melanggar kepercayaanmu, keputusan untuk tidak lagi memaafkan bukanlah kejahatan. Itu bentuk penghormatan pada dirimu sendiri.
Lagi pula, memaafkan itu seperti investasi. Kalau investasimu terus merugi, apakah kamu akan tetap bertahan hanya karena takut dibilang egois?
Sebuah riset dari American Psychological Association menyebutkan bahwa ketidakmampuan seseorang untuk menetapkan batasan emosional dapat menyebabkan burnout, kecemasan, hingga depresi. Artinya, terus-menerus memberi maaf kepada orang yang tidak berubah justru bisa merusak kesehatan mentalmu sendiri.
Jangan Sampai Maaf Jadi Diskon Tanpa Batas
Kita perlu realistis. Maaf itu bukan promo yang bisa digunakan berkali-kali tanpa konsekuensi.