Maaf itu seperti kuota internet. Ada batasnya.
Awalnya, kamu mungkin masih sabar. "Ah, dia pasti nggak bermaksud begitu." Kamu tarik napas, mengingatkan diri sendiri bahwa memaafkan adalah kebesaran hati. Lagi pula, katanya, manusia tempatnya salah.Â
Tapi kalau kesalahan yang sama terus berulang, kapan kita boleh berhenti memaafkan?
Jujur saja, capek. Bukan karena hati ini batu, bukan pula karena dendam mengakar. Tapi ada batas logika dan nurani yang rasanya sudah cukup babak belur.
Pernah dengar teori bahwa manusia itu makhluk yang belajar dari kesalahan? Nah, tampaknya itu hanya berlaku untuk mereka yang benar-benar peduli. Karena beberapa orang justru menganggap kata "maaf" seperti kartu sakti. Sekali diucapkan, mereka merasa segala dosa otomatis terhapus, tanpa perlu usaha untuk berubah.
Kamu tahu rasanya? Seperti jadi tukang servis yang terus memperbaiki barang rusak, tapi pemiliknya malah dengan santai membantingnya lagi dan lagi.
Ketika Maaf Kehilangan Makna
Ada alasan mengapa seseorang bisa sampai di titik lelah memberi maaf. Bukan karena hatinya tidak cukup luas, tetapi karena ia akhirnya sadar: memaafkan bukan berarti membiarkan diri terus disakiti.
Maaf yang sehat itu seperti jembatan, menghubungkan dua orang ke arah pemahaman dan perbaikan. Tapi kalau yang satu berusaha membangun, sementara yang lain sibuk menghancurkan, apakah masih layak disebut jembatan? Atau hanya perangkap yang membuatmu terus jatuh ke lubang yang sama?
Mungkin kamu pernah ada di situasi ini:
- Seseorang menyakitimu, lalu datang dengan wajah penuh penyesalan.
- Kamu memaafkan, berharap kali ini akan ada perubahan.
- Beberapa waktu kemudian, dia mengulang kesalahan yang sama.
- Ulangi skenario ini 5-10 kali sampai akhirnya kamu kehabisan tenaga.