Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Langkah Nyata Ibu-Ibu Berdaya Lahan Gambut Reduksi Emisi Karbon

24 Oktober 2021   23:35 Diperbarui: 25 Oktober 2021   00:07 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembuatan Pagar Secara Mandiri (Dok. Pribadi)

Net zero emission  (NZE) , sebuah istilah lama yang kembali menjadi tren sejak diadakannya pertemuan Climate Leaders' Summit yang digagas oleh presiden Bidden di bulan april 2021 yang lalu. Isu pemanasan global ini memang telah menjadi isu bersama sejak KTT Rio di tahun 1992. Ide upaya mitigasi dengan mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer  dengan target dicetuskan sejak tahun 2008 dan berpuncak pada KTT Iklim di Paris tahun 2015 dimana negara-negara maju berkomitmen mencapai NZE di tahun 2050. 

Jangan mikir kita bener-bener gak mengeluarkan emisi karbon ya. Karena respirasi manusia saja tentu melepaskan karbon. Apalagi jumlah penduduk bumi dipastikan semakin banyak  dari tahun ke tahun. Tentu saja yang dimaksud netral nol karbon ini pada karbon negatif yang dilepaskan ke atmosfer. Karbon hasil respirasi sih bisa terserap pada oleh tanaman yang tumbuh di bumi.

Indonesia sendiri berkomitmen mencapai NZE di tahun 2070,komitmen ini disampaikan oleh kemenLHK di bulan maret 2021. Waduh ketinggalan 2 dekade dong?.  Yaelah Mali, dipikir buat negara berkembang dengan teknologi terbatas kayak kita bisa secepat itu mencapai NZE.  Apalagi sektor industri menggunakan energi fosil terutama untuk pembangkit tenaga listrik masih sangat besar. Terlebih cadangan batu bara di bumi pertiwi ini masih sangat besar. tranfer pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju yang sudah duluan merusak bumi ini juga kan gak segampang itu. Sedikit dimaklumin dong.

Eh... tapi pemerintah kita optimis dong, di bulan agustus 2021 pemerintah Indonesia telah mengirimkan dokumen NDC terbaru ke PBB yang pada intinya mengubah target NZE menjadi 2060.

Indonesia memiliki Penyerap Karbon dan Penyimpan Karbon

Alih teknologi memerlukan sumber daya yang kuat, dan itu memang harus dipersiapkan dari sekarang.  Banyak perusahaan yang bergerak di bidang energi telah semakin berkomitmen untuk transisi energi, termasuk perusahaan-perusahaan yang selama ini dikenal sebagai perusahaan yang mengandalkan sektor batu bara, dimana dengan kebijakan NZE ini batu bara akan ditinggalkan. Salah satu contohnya adalah Indika Energy.

Upaya reduksi emisi karbon yang dilakukan harus dilakukan secara berkesinambungan pada semua sektor. Tidak hanya bertumpu pada upaya-upaya pemangkasan emisi gas rumah kaca seperti pengalihan kepada sumber energi terbarukan semata, bahkan pengembangan teknologi secanggih apapun dalam upaya pengurangan emisi karbon akan sia-sia jika tidak mengambil upaya solusi berbasis alam, yakni upaya pemulihan serta pelestarian hutan, rawa, lahan gambut, magrove dan penyerap karbon alami lainnya. 

Sektor ini seharusnya benar-benar menjadi andalan Indonesia dalam upaya mencapai NZE, apalagi dengan kondisi negara kita yang masih berkembang. 

Boleh jadi kompasianer belum pernah mendengar apa itu gambut. Baiklah, saya akan coba jelaskan secara sederhana, Gambut adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan bahan organic lainnya. Pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir. Karakteristik gambut yang ideal adalah basah dan mengandung banyak karbon di bawahnya.

Di dunia, luasan gambut ini hanya 3 % dari total luasan lahan di dunia, namun mampu menyerap 550 gigaton karbon. Gambut di Indonesia sendiri mampu menyimpan 56-60 gigaton karbon. Dalam studi WRI menyebutkan mengeringkan satu hektar lahan gambut di wilayah tropis akan mengeluarkan rata-rata 55 metrik ton CO2 setiap tahun; setara dengan membakar lebih dari 6.000 galon bensin. Lebih lengkap baca di sini.

Baca Juga : Pangan Hitam dari Tanah Hitam Bumi Ganecha Svarnadvviva

Bayangkan betapa pentingnya peran lahan gambut dalam upaya NZE. Bayangkan betapa besar kegagalan pencapaian NZE jika kita tidak mampu melindungi gambut dari kekeringan hingga terbakar. Jika gambut telah kering, gambut akan kehilangan fungsinya dan justru menjadi sumber emisi karbon terus menerus. Karena gambut yang kering tak berbeda dengan kayu kering yang sangat rebtan terbakar.

Persoalannya, akibat kesalahpahaman terhadap tata kelola lahan gambut sebelumnya, menyebabkan sebagian besar lahan gambut menjadi rusak. Sifat gambut tidak dapat kembali seperti sebelumnya jika telah rusak. Karena proses pembentukan gambut membutuhkan waktu berabad-abad.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan restorasi gambut. Restorasi gambut adalah proses panjang untuk memulihkan ekosistem lahan gambut yang terdegradasi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat  yang terkena dampak dari menyusutnya lahan  gambut.

Baca juga : Ngemil Produk Rawang Ikut Kontribusi Selamatkan Gambut Sumsel

Langkah Nyata Ibu-ibu Menyelamatkan Lahan Gambut 

Perlu upaya nyata untuk memberdayakan masyarakat agar dapat memanfaatkan lahan gambut sebagai sumber berpenghidupan mereka namun tetap merawat kelestarian gambut. Mereka akan bersungguh-sungguh menjaga gambut dari kerusakan jika mereka mendapatkan keuntungan nyata dari sana.

Bulan Mei lalu, dimana pada kalender musim biasanya terjadi puncak musim kemarau. Waktu paling rentan terjadinya kebakaran lahan gambut saya berkesempatan untuk membantu membangun home garden di salah satu desa mandiri peduli gambut, Desa Mandala Jaya,Kecamatan Betara, Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi.

Ya..cukup jauh dari Palembang.  Sekitar 7 jam perjalanan darat harus saya tempuh mencapai lokasi tersebut.  

"Ah...ngajarin buayo berenang." saya ngomel dengan diri saya sendiri saat melakukan pendampingan. Karena desa ini memang sudah dikenal sejak pandemi covid 2020 dengan produk jahe merahnya sebagai hasil  ibu-ibu tangguh bahu membahu menjalankan pola pertanian tanpa bakar (PLTB)  dengan memanfaatkan pupuk dan pestisida organik yang mereka produksi sendiri.

Desa dengan komoditas utama pinang dan kopi liberika ini memang memiliki kelompok wanita tani gambut yang memang sangat memahami bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan lahan gambut. Mereka memang telah lama hidup dan berpenghidupan di lahan gambut. Mereka amat sangat menyadari risiko kerusakan gambut bukan hanya akan membahayakan mereka, termasuk ancaman kebakaran gambut yang akan sulit dipadamkan jika sampai terjadi. 

Pembuatan Pupuk Dari Bahan Sekitar (Dok.Pribadi)
Pembuatan Pupuk Dari Bahan Sekitar (Dok.Pribadi)

Ketika pertama kali kami hadir dan melakukan padiatapa (persetujuan di awal tanpa paksaan), dengan antusias mereka menyusun rencana kerja mereka. Benar-benar di luar dugaan, sekali lagi bukan saya yang mengajari mereka. Mereka, para ibu yang memberi pengajaran penghidupan kepada saya. 

Mulai dari persiapan lahan termasuk pemagaran dengan memanfaatkan pohon pinang yang tidak produktif lagi sebagai pagar. Dilanjutkan persiapan pupuk, pembenah tanah hingga pestisida, pembenihan, penyemaian, pemeliharaan semuanya dilakukan secara mandiri oleh ibu-ibu. 

Saya sampai heran bagaimana cara mereka memanajemen tenaga mereka sehingga dapat selalu punya tenaga dan semangat luar biasa bekerja dari pagi hingga malam. 

Salah Satu Home Garden (Dok. Pribadi)
Salah Satu Home Garden (Dok. Pribadi)

Jika ibu-ibu ini saja semangat untuk menjaga gambut mereka untuk tetap lestari, seharusnya kita juga punya semangat yang sama. Dimulai dari diri sendiri dari lingkungan sendiri. Tidak perlu muluk-muluk, mulai dari memperhatikan jejak karbon  kita sehari-hari dan mulai mereduksinya seefisien mungkin. Mulai hemat energi dengan mencari upaya yang solutif dan adaptif  mengurangi penggunaan energi fosil secara langsung. Seperti meminalisir penggunaan kendaraan pribadi, hemat listrik, hemat dalam penggunaan air termasuk juga mengurangi food wasting. Membiasakan diri mengkonsumsi produk eco friendly, termasuk mendukung pembelian produk-produk yang dihasilkan oleh masyarakat di lahan gambut.

Langkah sederhana untuk dunia dimulai dari kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun