Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Pangan Hitam dari Tanah Hitam Bumi Ganesha Svarnadvviva

20 Februari 2020   09:34 Diperbarui: 20 Februari 2020   09:54 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olah Gambar Deddy Huang & Ferdinand Mathius

Rawa gambut (Masyarakat lokal Sumatera Selatan menyebutnya rawang) selama ini tidak mendapatkan perhatian khusus. Kesalahan tata kelola lahan mulai disadari saat bencana kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap yang tak kunjung usai di bumi Srivvijaya. Kondisi kabut asap Palembang seperti yang dikisahkan Pringadi dalam video ini:

Lahan gambut yang pernah dianggap tidak bermanfaat, dijadikan lahan-lahan baru dengan program transmigrasi besar-besaran di era 80-an.

Masyarakat lokal Sumsel  yang berbudaya hutan dan maritim memandang Rawang sebagai bagian dari bahari.  

Dengan kebijakan penggunaan lahan gambut sejuta hektar, lahan gambut dipotong-potong dengan membuat saluran air yang besar, dikeringkan dengan mengalirkan air yang berjuta tahun tertahan mengalir ke laut seketika dan dipaksa menjadi lahan mineral agar bisa ditanami. 

Tanpa menyadari fungsi lahan gambut sesungguhnya sebagai penyimpan cadangan air di muka bumi karena strukturnya yang menyerupai spons raksasa. 

Daya serap dan penyimpanan air jauh lebih besar daripada cadangan air di sungai-sungai dan danau, sebagai penjaga tinggi permukaan air dan terpenting penjaga cadangan karbon, yang jika terlepas akan mengakibatkan menaikkan suhu udara.  

Praktik  ini  makin massif kala booming perkebunan sawit di awal 2000-an. Gambut menjadi lahan-lahan yang ditanam sawit baik oleh korporasi maupun petani sebagai petani plasma dan sebagai kecil petani sawit mandiri.  Termasuk pada lahan-lahan yang di masa tahun 80 an adalah kawasan transmigrasi sebagai mega proyek swasembada pangan beralih rupa menjadi perkebunan sawit.

Ah.... sebagian orang masih menganggap global warming  hanya sebagai isapan jempol. 

Apa itu global warming ? dapat kamu baca di tulisan Yayan di sini.  

Saya yang memang sangat menyukai makan mencoba membuat catatan kecil tentang ragam pangan lokal yang dikembangkan di sebuah desa di kawasan gambut yang berbatasan langsung dengan Suaka Marga Satwa Padang Sugihan Sebokor, Sumatera Selatan.

Air Gading, Desa Gambut

Salah satu wilayah gambut di Sumsel adalah Desa Air Gading, menjadi penting karena desa ini berada di Kawasan Hidrologi Gambut (KHG), berada di antara Sungai Air Sugihan dan Air Salek yang terdapat kubah-kubah gambut yang harus dilindungi dari ancaman kebakaran.

Di tahun 1979,  wilayah ini dibuka sebagai bagian proyek Transmigrasi. Wilayahnya berada  dari jalur Primer 20 . 

Primer merujuk pada saluran air  buatan yang sangat besar,  dibuat dengan memotong-motong lahan gambut  untuk mengeringkan lahan gambut dan mengalirkannya ke sungai sekaligus "tata guna" air masa itu dan 

Masyarakat lokal (termasuk masyarakat Palembang)  menyebut orang di desa ini  dengan sebutan  "Wong Jalur 20". Banyak sekali saluran air yang sangat besar dibuat pada masa itu, desa ini berada di jalur ke 20.

Sebagian besar penduduk merupakan transmigran Jawa, ya jangan kaget jika  di sana akan banyak orang berbahasa Jawa atau Indonesia, meski sebagian anak muda juga sudah biasa berbahasa Palembang terutama yang mengeyam pendidikan di Palembang.

Untuk menuju Desa Air Gading dari Palembang dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama dengan transportasi sungai dan kedua dengan transportasi darat. Akses menuju desa ditempuh dengan moda transportasi air dengan menggunakan speedboat, baik yang berukuran besar bermuatan sekitar 30-40 penumpang ataupun ukuran kecil  yang bermuatan 5-8 penumpang.

Titik keberangkatan berada di dermaga-dermaga di sekitaran Benteng Kuto Besak (BKB) dengan jadwal keberangkatan di pagi hari pukul 08-11 berangkat dari Tugu Iwak Belido. Sedangkan  untuk keberangkatan siang hari pukul 13.00-14.00  berangkat dari dermaga Bengkangdam Sriwijaya.

Jarak tempuh menggunakan transportasi air ini memakan waktu lebih kurang 2 jam, melalui rute jalur 20. 

Rute alternatif yang dapat dipergunakan adalah rute  jalur 21 menuju wilayah Sungai Baung, dari  pukul 06.00 pagi  sampai sore hari  sekitar 17.00.

Jika takut menggunakan transportasi air, kita dapat  menggunakan jalur darat dengan mobil atau motor dengan rute Palembang-Plaju-Cinta Manis dan Sebokor. Jarak tempuh berkisar antara 3-4 jam tergantung paada keadaan cuaca. Pada musim hujan, akses jalan yang belum diaspal/beton, masih tanah campur bebatuan menjadikan jalannya licin. Kalau di musim kemarau ya jalannya berdebu.

Gajah Air Gading

Penamaaan Air Gading merupakan kesepatakan warga desa saat pembentukan desa ini sebagai desa definitif yang semula "hanya" sebagai sebuah blok wilayah transmigrasi. 

Penyertaan kata gading karena wilayah ini merupakan kawasan yang dulunya  terdapat banyak gajah liar.  Selain itu,  desa ini juga berada di daerah yang banyak air karena berada di tepian Sungai Musi berada di Pantai Timur Sumatra.

 Bicara tentang gajah di Air Gading.  Di tahun 1982,  sangat terkenal Operasi Ganesha, yakni operasi pasukan ABRI selama 2 bulan untuk menghalau gajah liar sampai ke daerah lebung hitam agar tidak merusak kawasan transmigrasi yang baru dibuka.


Setelah gajah liar berada di Lebung Hitam dilakukan penggalian parit, yang bertujuan agar gajah tidak bisa masuk lagi ke wilayah warga.  Parit yang selesai  dibangun pada tahun 1985 sekarang dikenal dengan jalur 21.

Di tepian jalur 21 ini lah dibangun balai konservasi sumber daya alam  dan pusat pelatihan gajah Muara Padang yang berbatasan langsung dengan Desa Air Gading. Bagaimana kisah gajah dan sekolahnya dapat di baca di sini. 

Air Gading yang berada di Pantai Timur Bumi Swarna Dwipa, yang diyakini sebagai kawasan Pelabuhan Masa Srivvijaya, bahkan konon gajah-gajah di kawasan ini sebetulnya adalah gajah keturunan gajah Kedatuan Srivvijaya, yang memang terkenal di setiap suratnya membanggakan negeri yang memiliki seribu gajah termasuk dalam mukadimah surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Kopi Laut, Produk Rawang Air Gading

Sebagai desa agraris, potensi Desa Air Gading bukan hanya pada eco wisatanya, karena  berbatasan langsung dengan Sekolah Gajah itu. 

Adalah sebuah potensi terpendam dari tanah hitam Desa Air Gading.

Sumber : Jelajah Kopi Nusantara Kompas
Sumber : Jelajah Kopi Nusantara Kompas
Jika selama ini, dunia mengenal 2 jenis kopi yang biasanya ditanam di dataran tinggi yakni Robusta dan Arabika. Kedua jenis kopi ini di Sumsel ditanam di wilayah Bukit Barisan, kopi sumsel yang paling terkenal adalah Kopi Semende.

Namun, ada satu jenis kopi lagi yang tumbuh dengan subur di dataran rendah, yakni Liberica.  Di Wilayah Transmigrasi Pantai Timur Sumsel yang mayoritas rawa,  kopi liberica pada awalnya merupakan tanaman tumpang sari, tanaman alternatif. Bahkan ada yang mengatakan awalnya ditanam di beberapa wilayah "tanggul angin".

Tanggul angin adalah tanah-tanah yang dikosongkan tanpa kepemilikan sengaja untk ditanami tanaman yang bertujuan agar angin kencang dari laut tidak sampai merusak tanaman palawija dan padi yang menjadi tanaman pokok kala itu  ataupun sebagai "pagar kebun" palawija.

Kopi liberika ditanam di desa ini pada tahun  90-an, sebagai proyek pembinaan dari dinas perkebunan terkait budidaya kopi pada masyarakat transmigrasi. Bukan hanya pada desa ini. Namun, pengembangan kopi jenis ini  makin  berkurang. 

Pertimbangan mengenai modal tanam dan perawatan kopi tidak seimbang dengan hasil panen,  warga hanya dapat melakukan panen  sekali dalam setahun ditambah  penguasaan teknologi hasil pertanian kopi liberika juga  masih sangat rendah, dan tidak paham mengenai pemasaran kopi jenis ini menjadi penyebab penurunan produksi kopi liberika di Sumsel  Bahkan di beberapa wilayah transmigrasi di Sumatera Selatan lainnya kopi liberika telah dimusnakan demi dapat menanam sawit.


Potensi pengembangan kopi liberica ini masih cukup besar. Dari hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh  masyarakat Desa Air Gading bersama Epistema ,  Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)    dan Badan Restorasi Gambut (BRG)   dalam buku Profil Desa Peduli Gambut Air Gading, Muara Padang 2019 masih terdapat   sekitar 23 Hektar lahan di desa ini masih ditanami kopi liberika.

Perkembangan dunia kopi juga berimplikasi positif dalam perkembangan pengelolaan kopi di desa ini.  Selama ini kopi liberika yang dikenal kopi laut hanya dijadikan kopi campuran jenis kopi lain. 

Saat ini pengembangan kopi liberica Air Gading mulai digiatkan. Dimulai  dengan pengemasan produk yang lebih menarik,  ditambah dengan pemanfataan pemasaran online membuat siapa saja dapat menikmati produk petani gambut ini.

Kopi dengan aroma khas seperti harum buah nangka ini memang memiliki pasar tersendiri,  meski memang belum mampu bersaing secara kuat dengan produk sejenis dari Jambi yang mampu menembus ekspor hingga Malaysia.

Mengolah kopi jenis ini memang menjadi challenge tersendiri bagi roaster . Bentuk dan ukuran bean yang tidak merata atau kualitas proses panen yang belum maksimal, memunculkan problem tersendiri untuk mendapatkan tingkat kematangan yang merata sempurna sesuai yang diinginkan, agar dapat diolah oleh barista menjadi minuman yang lebih berkelas. 

Beberapa roaster yang berhasil menaklukan kopi liberika Air Sugihan ini merasa bangga, karena aroma khas Liberica dari kopi jenis ini memang sagat memikat penikmat kopi.

Hey kamu anak indie, tak ada salahnya toh mencoba berfilosofi akan keberlanjutan alam ini dengan menyesap secangkir kopi liberica tanpa gula di kala senja. Kopi yang tumbuh dari tanah hitam tempat, dimana cadangan karbon planet ini bersemayam.

Potensi Beras Hitam, Beras "Terlarang"  di Tanah Hitam Air Gading

Selain Kopi, beraneka palawija sayur dan bumbu dapur yang diitanam di desa ini. Ada satu lagi potensi pangan hitam dari tanah hitam, yakni beras hitam.

Konon pada zaman dulu, di Tiongkok beras hitam hanya makanan para kaisar, sehingga rakyat jelata yang berani makan beras hitam akan dihukum berat.

Di masa kini, kesadaran akan pola makan sehat termasuk pemilihan nasi yang lebih berserat, lebih tinggi protein, kaya mineral dan lebih minim gula. Keunggulan itu ada diberas hitam yang bukan hanya hitam karena jenisnya tetapi juga prosesnya yang memang tidak melewati proses pemutihan. Beras hitam juga lebih diminati karena lebih pulen ketimbang beras merah yang ditanam dilahan pasang surut yang cenderung pera'. 

Beras hitam juga diyakini  mengandung anti oksidan, berupa antosianin. Hasil penelitian juga menyatakan bahwa antosianin  mampu mencegah penyakit jantung dan melindungi dari peradangan,berupa asma, arthritis, hingga kanker.  Pola konsumsi dengan beras hitam mampu menurunkan kadar trigliserida (lemak jahat dalam darah) dan meningkatkan kadar HDL.

Fungsi ajaib antosianin lain juga untuk dipercaya mampu memperkuat daya ingat dan kinerja otak loh.

Bahan pangan ajaib ini saat ini tengah dikembangkan di Desa Air Gading, bahkan saat ini tengah persiapan panen. 

Gambut ciri khasnya berwarna hitam, termasuk air yang mengalir di tanah gambut. Sifat aslinya asam sehingga perlu perlakuan khusus mengingkatkan pH untuk menetralisirkan tanahnya.

Dulu, pola tanam yang paling praktis dilakukan di lahan gambut adalah dengan membakar. Alasan pertama, lahan gambut biasanya ditumbuhi tanaman perdu yang seringkali berbatang, sehingga penyiangan lahan membutuhkan tenaga ekstra, proses pembakaran membuat proses ini praktis dan ekonomis. Ditambah dengan proses pembakaran bertujuan mengurangi keasaman lahan.

Tetapi dengan perubahan kondisi lahan gambut yang sekarang kering, risiko terbakar sangat tinggi.  Karena itu, dikembangkan pola pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB). Daur air diatur dengan pola mandala untuk mencegah risiko kekeringan termasuk meminimalisir kebakaran lahan gambut yang dapat beimplikasi fatal bukan hanya bagi Sumsel, tetapi bagi keberlangsungan dunia.

Tidak hanya sebatas itu, meski belum dapat menjamin menjadi tanaman organik (karena lahan berada di kepungan kebun sawit yang dipastikan menggunakan kimia dalam pengolahannya). Tetapi petani yang mendapat pembekalan sekolah lapang BRG mengembangkan pola pertanian yang memanfaatkan pupuk dan pestisida alami untuk pertanian beras hitam ini.

Memang daya serap pasar beras hitam baik di Banyuasin, Palembang, Sumsel ataupun Indonesia masih sangat sedikit. Karena itu produksi beras ini belum dilakukan secara besar-besaran. Tentu saja hal ini berpengaruh pada harga jual.

Duh, aku mulai membayangkan beragam jenis makanan yang dapat diolah dari beras hitam dan tepung beras hitam ini.

Terbayang olehku bubur sumsum hitam yang eksotis, tentu aroma wanginya yang  sangat berbeda dengan tepung beras pabrikan. Bubur sumsum hangat disiram dengan gula aren dan santan kelapa yang kental.

Palembang tengah musim duren, alangkah sedapnya dodol duren (dodol duren ya, bukan lempok, lempok duren tanpa tepung)  dengan tepung beras hitam .

Ehm....  jajanan tradisional lain seperti nagasari, kue gandus, kue lumpang, lakso, burgo, dan kue lapis beras dengan bahan baku beras hitam akan menambah keunikan rasa tersendiri. 

Woohooo ..... ngebayanginnya saja so yummy.

Sumatera yang dikenal sebagai Svvarnadvvipa yang secara harfiah dikenal sebagai Pulau Emas, karena kemakmuran sumber daya alam yang ada di dalamnya. Sebagai negeri agraris tentu tidak salahnya mengembangkan potensi sumber daya pangan lokal yang menopang revitalisasi ekonomi masyarakat yang hidup dan berkehidupan di tanah-tanah penyimpan cadangan karbon bumi ini.

Revitalisasi ekonomi masyarakat di desa-desa gambut  sangat diyakini akan mendukung mereka menjaga sumber-sumber kehidupan mereka yang implikasinya bukan hanya buat mereka, tetapi keberlangsungan bumi ini, bukankah terjaminnya sumber pangan dan tetap bertahannya bumi ini sampai kapanpun Itu jauh lebih berharga dari emas?. 

Jika Ganesha berani mematahkan gadingnya demi dapat menulis pengetahuan, setidaknya kita mencari tahu apa yang kita makan bukan hanya untuk mengenyangkan perut semata. Ada upaya untuk membantu para pejuang pelestasi alam ini  dengan menggunakan produk pangan lokal.

So...kapan nih jalan-jalan ke Palembang, yok kita  ke Desa Air Gading. Mari kita sama-sama selusuri sungai Musi dengan speedboat  menuju Pantai Timur, jalan-jalan di Kebun Kopi Liberika dan berwisata naik gajah di sekolah gajah, ngobrol dengan penduduk desa yang selalu ramah dan hangat kala bercengkrama sambil minum seduhan kopi liberika dan aneka panganan produk rawang sambil bergitar nyanyi lagu Gajah nya Tulus. 

Asyik gak tuh?.

Salam Kompal!

Kompal Kompak (Dok.Pribadi)
Kompal Kompak (Dok.Pribadi)
Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam event Sambung Menyambung Menjadi Konten. Saya bagian dari #TimLenjer yang terdiri dari Haryadi Yansyah, Kartika Kariono dan Pringadi Surya. 

Salam Kompal Selalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun