Mohon tunggu...
Karniya ajahra
Karniya ajahra Mohon Tunggu... mahasiswa

Advocating for a sustainable future | Green energy enthusiast 🌱🌍💡

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Sang Pendiri Tangerang: Kisah Raden Aria Wangsakara

22 Juni 2025   20:39 Diperbarui: 22 Juni 2025   20:39 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raden Aria Wangsakara (Sumber: dok Pribadi)

Di abad ke-16, lahirlah seorang bangsawan bernama Raden Aria Wangsakara di Sumedang Larang, sekitar tahun 1615 Masehi. Ia adalah putra Wiraraja I, pangeran pewaris takhta Kerajaan Sumedang Larang, dan ibunya, Putri Dewi Cipta, merupakan keturunan dari Pucuk Umun Banten dan Prabu Siliwangi. Sejak kecil, Wangsakara telah dikenal sebagai sosok yang taat beragama dan berjiwa pemberani. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga kerajaan yang makmur, namun hatinya tidak terpikat pada kekuasaan.

Seiring waktu, konflik politik mulai melanda Sumedang Larang. Keluarganya, yang mulai bersekutu dengan Kompeni Belanda (VOC), membuat Wangsakara menolak tunduk pada pengaruh asing tersebut. Ia memilih jalan berbeda. Pada tahun 1632, dengan niat suci, ia memutuskan untuk hijrah meninggalkan tanah kelahirannya dan menuju barat, ke wilayah Banten. Baginya, perjalanan itu bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan sebuah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan ajaran Islam.

Dalam perjalanan panjangnya, Wangsakara pertama kali menetap di Tigaraksa, sebuah wilayah yang kala itu masih sepi. Di sana ia membangun Tugu Tigaraksa sebagai tanda keberadaannya dan sebagai pengingat semangat juang. Namun, karena ancaman VOC semakin mendekat, ia berpindah ke Gerendeng, Karawaci, dekat Sungai Cisadane. Di lokasi ini, ia mendirikan Pesantren Gerendeng, yang menjadi pusat dakwah Islam dan tempat berkumpulnya para santri dari berbagai daerah.

Keberadaan pesantren ini lambat laun menarik perhatian VOC. Letaknya yang strategis dekat Batavia membuat Belanda menganggapnya sebagai ancaman. Pada tahun 1652-1653, VOC membangun benteng di seberang Sungai Cisadane dan menembakkan meriam ke arah pesantren, menghancurkan tempat itu dan memaksa para santri mengungsi. Namun Wangsakara tidak menyerah. Ia memimpin para pengikutnya pindah ke Lengkong Kyai, Pagedangan, wilayah yang terlindungi oleh hutan bambu dan dikelilingi Sungai Cisadane.

Di Lengkong, Wangsakara mendirikan Masjid Al-Muttaqin yang menjadi pusat ibadah, pendidikan, dan pertahanan. Masjid ini menjadi saksi perjuangan umat Islam di Tangerang, bahkan pernah menjadi tempat persembunyian saat baku tembak dengan Belanda. Wangsakara tidak hanya mengajarkan agama, ia juga membentuk komunitas yang kuat dan berpegang pada nilai-nilai keislaman. Dakwahnya terus menyebar dan pengikutnya semakin bertambah, menjadikan wilayah itu berkembang menjadi pusat keagamaan yang disegani.

Tahun 1655, VOC kembali mencoba menegosiasikan perjanjian dengan Kesultanan Banten, namun Sultan Ageng Tirtayasa menolak. Pada tahun 1658, perang besar meletus antara Banten dan VOC. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan Raden Aria Wangsakara untuk memimpin pertahanan di wilayah Tangerang. Selama tujuh bulan, Wangsakara bersama pasukannya bertempur di Ciledug, Sangiang, Pasar Baru, dan Lengkong. Ia mengatur strategi pertempuran, termasuk menempatkan pasukan di Gardu Sangiang dan Tajur Kulon, serta memimpin serangan di Angke.

Dengan doa yang selalu mengiringi setiap langkahnya, pasukan Wangsakara menerapkan strategi "perang dadali", mengelilingi benteng musuh dan membakar perkebunan Belanda. Mereka berhasil merebut beberapa benteng VOC, termasuk di Sudimara dan terus menekan ke arah timur Ciangke. Tekanan dari pasukan Wangsakara dan Sultan Ageng Tirtayasa membuat VOC akhirnya setuju untuk menandatangani perjanjian damai pada Juli 1659, dengan menetapkan Sungai Cisadane sebagai batas kekuasaan antara Banten dan Batavia.

Usai perang, Wangsakara tidak berhenti berjuang. Ia memusatkan perhatiannya pada pemulihan sosial, mengumpulkan anak yatim piatu dan para janda korban perang. Ia memberikan perlindungan dan semangat agar mereka tetap tegar serta mengajarkan pentingnya menjaga agama dan tanah air. Masjid Al-Muttaqin dan komunitas yang ia bangun menjadi pusat penguatan sosial dan pendidikan yang terus berkembang.

Raden Aria Wangsakara wafat pada malam Jumat, 2 Syaban 1092 H atau bertepatan dengan 15 Agustus 1681 Masehi, dalam usia sekitar 66 tahun. Ia dimakamkan di Lengkong Kyai, Pagedangan, Tangerang. Hingga kini, makamnya menjadi situs ziarah dan simbol perjuangan serta warisan budaya yang berharga bagi masyarakat Tangerang. Pada 10 November 2021, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Raden Aria Wangsakara sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya dalam mempertahankan tanah air dan menyebarkan ajaran Islam.

Jejak perjuangan Raden Aria Wangsakara tidak hanya tercermin pada peninggalan fisik seperti masjid, pesantren, dan makamnya, tetapi juga dalam nilai-nilai keteladanan, keberanian, kepedulian sosial, dan kecintaan pada agama yang masih hidup dalam ingatan masyarakat Tangerang hingga saat ini. Namanya kini diabadikan menjadi nama jalan dan berbagai fasilitas publik, mengingatkan generasi penerus bahwa sejarah lokal adalah bagian penting dari jati diri bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun