Rina mencatat pengalaman dirinya dan para sahabat barunya itu dalam buku harian yang ditujukan kepada kekasihnya di Saigon. Dari catatan itu, terpantul refleksi seorang perempuan Jawa yang dibesarkan dalam tradisi Katolik, tetapi sekaligus haus akan kebebasan personal. Ia terbelah antara norma dan hasrat, antara kesetiaan pada nilai-nilai tanah air dan daya tarik budaya Eropa yang lebih bebas.
Keretakan rumah tangga Rina berpuncak ketika ia mengetahui suaminya berselingkuh dengan Sophie. Kehancuran itu membuatnya semakin sadar bahwa cinta dan perkawinan tidak selalu berjalan seiring. Alih-alih larut dalam luka, ia justru berani menerima kehadiran Robert, seorang mahasiswa muda yang mengingatkannya pada cinta lama.
Melalui alur yang mengalir seperti percakapan sehari-hari, Nh. Dini menghadirkan potret perempuan yang tak hanya pasif dalam penderitaan, tetapi aktif mencari jalan keluar. La Barka menjadi simbol: sebuah perahu kecil yang rapuh, namun tetap mengapung di lautan kehidupan yang luas dan penuh ombak.
Cermin Perempuan dalam Retaknya Perkawinan
Novel ini mengangkat isu perceraian bukan sekadar sebagai kegagalan, tetapi juga sebagai jalan baru. Nh. Dini menggambarkan perempuan-perempuan yang menolak tunduk pada stigma sosial. Mereka justru menunjukkan bahwa hidup setelah perceraian adalah perjuangan untuk menemukan kembali harga diri.
Rina, Monique, Francine, Sophie, Yvonne, dan Christine adalah wajah-wajah perempuan dengan luka berbeda. Namun, mereka dipersatukan oleh satu hal: keberanian untuk tetap berdiri meski disakiti. Sosok-sosok ini mengingatkan pembaca bahwa perceraian bukan akhir segalanya.
Ketika perceraian dalam budaya Indonesia kerap dipandang sebagai aib, La Barka hadir sebagai kritik sosial. Novel ini menyoroti betapa beratnya beban yang ditanggung perempuan dibandingkan laki-laki. Dini menempatkan perempuan bukan sebagai korban semata, melainkan sebagai subjek yang menentukan nasibnya sendiri.
Refleksinya jelas: perkawinan harus dibangun di atas penghargaan, bukan dominasi. Ketika lelaki hanya menuntut dan meremehkan, lembaga perkawinan berubah menjadi ruang penindasan. Dengan cara itu, Dini mengingatkan kita bahwa kesetaraan adalah syarat mutlak bagi sebuah hubungan yang sehat.
Latar Prancis dan Nuansa Lintas Budaya
Kekuatan La Barka tidak hanya pada kisahnya, tetapi juga pada latarnya. Dengan detail yang puitis, Nh. Dini membawa pembaca ke pedesaan Prancis Selatan: jalan berbatu, pegunungan yang sejuk, hingga rumah kecil bernama La Barka yang penuh kehangatan sekaligus kepedihan.
Bagi Rina, latar Prancis bukan hanya tempat pelarian. Ia menjadi ruang untuk membandingkan norma Jawa dengan kebebasan Barat. Ketegangan itu memberi warna khas pada konflik batin tokoh utama. Ia terjebak antara keinginan menjadi perempuan mandiri dan ikatan moral budaya asalnya.