Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

'La Barka', Perahu Retak di Lautan Kehidupan

20 September 2025   19:27 Diperbarui: 20 September 2025   19:27 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu Retak di Lautan Kehidupan (Dok. Shopee)

'La Barka', Perahu Retak di Lautan Kehidupan

"Tak ada rahasia antara lelaki dan perempuan; keduanya diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi." – Nh. Dini

Oleh Karnita

Pendahuluan

Pernahkah kita membayangkan sebuah rumah kecil di Prancis Selatan, bernama La Barka, menjadi saksi bisu perjumpaan para perempuan yang terluka oleh perceraian dan kegagalan rumah tangga? Dalam keheningan pedesaan Trans-en-Provence, suara tawa, keluh kesah, hingga renungan mengalir dari para tokoh yang menghadapi getirnya hidup sebagai janda. Dari situlah, novel La Barka karya Nh. Dini mengundang kita merenungkan ulang tentang cinta, kesetiaan, dan makna lembaga perkawinan.

Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Dunia Pustaka Jaya pada 1975 dengan tebal 205 halaman, kemudian mengalami cetakan kedua pada 1976, diterbitkan ulang oleh Grasindo pada 2000, dan Gramedia Pustaka Utama (GPU) pada 2010. Dibagi menjadi lima bab yang masing-masing berjudul nama tokoh – Monique, Francine, Sophie, Yvonne, dan Christine – novel ini tampil sebagai mozaik kehidupan perempuan pasca perkawinan. Kehadiran Rina, perempuan Indonesia yang menjadi benang merah kisah, memperkaya nuansa lintas budaya.

Ketertarikan Nh. Dini pada dunia perempuan dalam La Barka begitu jelas: ia menolak dominasi narasi laki-laki atas pengalaman batin perempuan. Jika Sitti Nurbaya atau tokoh perempuan lain di novel klasik sering dituturkan dari perspektif maskulin, maka La Barka seakan menjadi ruang baru bagi suara perempuan untuk berbicara jujur. Relevansi novel ini pun tetap terasa hari ini, ketika wacana tentang kesetaraan, kebebasan perempuan, dan peran gender masih menjadi perdebatan publik.

Sinopsis

Rina, seorang perempuan Indonesia yang tengah menghadapi perceraian dengan suami Prancis-nya, menumpang di rumah Monique di Trans-en-Provence, Prancis Selatan. Rumah yang dinamakan La Barka itu menjadi semacam pelabuhan persinggahan bagi banyak perempuan yang juga pernah gagal dalam perkawinan. Bersama anak kecilnya, Rina menyelami kehidupan baru sambil menanti putusan hukum yang akan mengakhiri pernikahannya.

Monique, Francine, Sophie, Yvonne, dan Christine hadir dengan kisah masing-masing. Mereka adalah perempuan-perempuan yang berjuang mengasuh anak seorang diri, menjalani hubungan baru, atau sekadar menemukan arti kebebasan. Dalam percakapan hangat maupun getir, terkuak betapa perkawinan sering menjadi medan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.

Rina mencatat pengalaman dirinya dan para sahabat barunya itu dalam buku harian yang ditujukan kepada kekasihnya di Saigon. Dari catatan itu, terpantul refleksi seorang perempuan Jawa yang dibesarkan dalam tradisi Katolik, tetapi sekaligus haus akan kebebasan personal. Ia terbelah antara norma dan hasrat, antara kesetiaan pada nilai-nilai tanah air dan daya tarik budaya Eropa yang lebih bebas.

Keretakan rumah tangga Rina berpuncak ketika ia mengetahui suaminya berselingkuh dengan Sophie. Kehancuran itu membuatnya semakin sadar bahwa cinta dan perkawinan tidak selalu berjalan seiring. Alih-alih larut dalam luka, ia justru berani menerima kehadiran Robert, seorang mahasiswa muda yang mengingatkannya pada cinta lama.

Melalui alur yang mengalir seperti percakapan sehari-hari, Nh. Dini menghadirkan potret perempuan yang tak hanya pasif dalam penderitaan, tetapi aktif mencari jalan keluar. La Barka menjadi simbol: sebuah perahu kecil yang rapuh, namun tetap mengapung di lautan kehidupan yang luas dan penuh ombak.

Cermin Perempuan dalam Retaknya Perkawinan

"Tak ada rahasia antara lelaki dan perempuan; keduanya diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi." – Nh. Dini (Dok. Tokopedia)

Novel ini mengangkat isu perceraian bukan sekadar sebagai kegagalan, tetapi juga sebagai jalan baru. Nh. Dini menggambarkan perempuan-perempuan yang menolak tunduk pada stigma sosial. Mereka justru menunjukkan bahwa hidup setelah perceraian adalah perjuangan untuk menemukan kembali harga diri.

Rina, Monique, Francine, Sophie, Yvonne, dan Christine adalah wajah-wajah perempuan dengan luka berbeda. Namun, mereka dipersatukan oleh satu hal: keberanian untuk tetap berdiri meski disakiti. Sosok-sosok ini mengingatkan pembaca bahwa perceraian bukan akhir segalanya.

Ketika perceraian dalam budaya Indonesia kerap dipandang sebagai aib, La Barka hadir sebagai kritik sosial. Novel ini menyoroti betapa beratnya beban yang ditanggung perempuan dibandingkan laki-laki. Dini menempatkan perempuan bukan sebagai korban semata, melainkan sebagai subjek yang menentukan nasibnya sendiri.

Refleksinya jelas: perkawinan harus dibangun di atas penghargaan, bukan dominasi. Ketika lelaki hanya menuntut dan meremehkan, lembaga perkawinan berubah menjadi ruang penindasan. Dengan cara itu, Dini mengingatkan kita bahwa kesetaraan adalah syarat mutlak bagi sebuah hubungan yang sehat.

Latar Prancis dan Nuansa Lintas Budaya

Kekuatan La Barka tidak hanya pada kisahnya, tetapi juga pada latarnya. Dengan detail yang puitis, Nh. Dini membawa pembaca ke pedesaan Prancis Selatan: jalan berbatu, pegunungan yang sejuk, hingga rumah kecil bernama La Barka yang penuh kehangatan sekaligus kepedihan.

Bagi Rina, latar Prancis bukan hanya tempat pelarian. Ia menjadi ruang untuk membandingkan norma Jawa dengan kebebasan Barat. Ketegangan itu memberi warna khas pada konflik batin tokoh utama. Ia terjebak antara keinginan menjadi perempuan mandiri dan ikatan moral budaya asalnya.

Dalam percakapan sehari-hari, terlihat pula kontras cara pandang. Orang-orang Prancis dalam novel digambarkan lebih bebas dalam memandang cinta dan perkawinan. Sementara Rina masih memikul warisan nilai yang menekankan kesetiaan mutlak.

Melalui benturan budaya ini, Nh. Dini menyodorkan refleksi yang tajam: bahwa globalisasi nilai bukan sekadar soal gaya hidup, tetapi juga benturan moral. La Barka menjadi cermin lintas budaya yang menantang pembaca Indonesia untuk berani melihat diri sendiri dengan lebih jujur.

Kritik terhadap Dominasi Maskulin

Salah satu benang merah novel ini adalah potret laki-laki yang egois, kaku, dan enggan menghargai perempuan. Suami Rina, misalnya, digambarkan sebagai sosok yang tak segan merendahkan istrinya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh laki-laki lain yang lebih banyak menuntut daripada memberi.

Nh. Dini sengaja menekankan dominasi maskulin ini untuk menunjukkan ketidakadilan struktural dalam perkawinan. Bukan hanya persoalan individu, tetapi sistem sosial yang menempatkan perempuan di posisi subordinat.

Dalam banyak adegan, perempuan digambarkan lebih realistis dan tegar. Mereka justru mampu mengasuh anak, menata hidup, dan bangkit dari keterpurukan. Sebaliknya, laki-laki kerap tampil lemah, egois, bahkan pengecut.

Kritik ini masih relevan hingga kini. Di tengah isu kesetaraan gender yang belum sepenuhnya tercapai, La Barka menjadi pengingat bahwa perjuangan perempuan bukan hanya melawan stigma, tetapi juga struktur sosial yang bias.

Realisme dalam Gaya Narasi

Sebagai pengarang realis, Nh. Dini menulis dengan detail yang padat. Semua tokoh, peristiwa, dan percakapan digambarkan lengkap hingga menimbulkan kesan penuh sesak. Jakob Sumardjo menilai hal ini membuat komposisi cerita terasa datar. Namun, Subagio Sastrowardoyo menyebutnya sebagai pilihan sadar untuk menghadirkan realisme tinggi.

Alur cerita yang mengalir tanpa simpulan tegas adalah cerminan hidup nyata. Tidak ada jawaban mutlak, hanya pengalaman yang berulang, berjejal, dan sering melelahkan. Dengan gaya itu, Dini mengajak pembaca masuk ke denyut kehidupan apa adanya.

Realisme ini memperkuat kejujuran pengarang. La Barka tidak dibangun untuk menawarkan solusi, melainkan untuk memotret realitas. Ia seakan berkata: beginilah kehidupan perempuan, dengan segala luka dan keberaniannya.

Gaya ini sekaligus menjadi refleksi atas dunia sastra yang seringkali meminggirkan suara perempuan. Dengan menuliskannya secara telanjang, Nh. Dini menolak romantisasi dan memilih keberanian.

Menengok Cerita Kenangan Nh. Dini (Dok. CNN Indonesia)
Menengok Cerita Kenangan Nh. Dini (Dok. CNN Indonesia)

Keunggulan dan Kelemahan

Keunggulan utama novel ini adalah keberanian Nh. Dini mengangkat pengalaman perempuan secara jujur. Ia menyingkap tabu perceraian, seksualitas, dan keraguan terhadap lembaga perkawinan, sesuatu yang jarang dilakukan penulis perempuan Indonesia pada masanya. Dari sisi intrinsik, penokohan yang berlapis menjadikan novel ini kaya perspektif.

Latar Prancis yang detail juga memperkuat atmosfer cerita. Pembaca seakan benar-benar berada di pedesaan Eropa, merasakan perjumpaan lintas budaya yang kontras dengan norma Jawa. Dari sisi ekstrinsik, keberanian Dini menantang budaya patriarkis menjadikan novel ini penting secara historis.

Namun, kelemahannya terletak pada komposisi yang penuh sesak. Semua tokoh mendapat porsi hampir sama, sehingga garis besar konflik terasa kurang fokus. Beberapa bagian terasa repetitif, membuat ritme cerita datar.

Kelemahan lain adalah alur yang tidak diarahkan pada klimaks besar. Bagi sebagian pembaca, hal ini mungkin menjemukan. Namun justru di situlah kekuatan realisme Nh. Dini: kehidupan memang tak selalu memberi simpulan yang rapi.

Penutup

La Barka adalah novel tentang perempuan, luka, dan keberanian untuk bangkit. Ia bukan sekadar kisah perceraian, melainkan potret bagaimana perempuan menolak dipenjara oleh norma yang tidak adil. Dalam setiap halamannya, Nh. Dini menghadirkan cermin bagi kita untuk merenung.

Bagi pembaca masa kini, novel ini tetap relevan. Isu kesetaraan gender, stigma perceraian, hingga dilema lintas budaya masih menjadi kenyataan sosial. La Barka mengingatkan kita bahwa suara perempuan tidak boleh lagi didiamkan.

Seperti kutipan Nh. Dini: “Tak ada rahasia antara lelaki dan perempuan; keduanya diciptakan Tuhan untuk saling melengkapi.” Sebuah kalimat yang sederhana, tetapi sarat makna bagi siapa saja yang ingin memahami cinta, perkawinan, dan kehidupan secara lebih jujur.

Daftar Pustaka

  • Dini, Nh. (2010). La Barka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Sumardjo, Jakob. (1979). Novel Indonesia Mutakhir: Suatu Kritik. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Sastrowardoyo, Subagio. (1989). Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Ensiklopedia Sastra Indonesia. (2025). “La Barka”. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun