'Antara Wilis dan Gunung Kelud', Potret Kemanusiaan di Tengah Revolusi
“Dalam perang, musuh bisa saja sahabat, dan sahabat bisa berubah menjadi musuh—semua bergantung pada kepercayaan.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Dalam rangka Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), Minggu, 21 September 2025, penulis hadirkan ulasan sebuah buku kumpulan cerpen. Bagaimana wajah revolusi Indonesia jika dilihat bukan dari sudut heroisme besar, melainkan dari kisah-kisah kecil yang menggetarkan hati? Pertanyaan ini seolah menggiring kita memasuki dunia cerita dalam Antara Wilis dan Gunung Kelud karya Toha Mohtar. Sebuah kumpulan cerpen yang tidak hanya menghadirkan dentuman perang, tetapi juga detak hati manusia di tengah kecurigaan, perlawanan, dan secercah kemanusiaan yang bertahan.
Buku ini diterbitkan oleh Djambatan pada 1989, sebuah penerbit yang kerap menghadirkan karya dengan tema kolonialisme, humanisme, dan perjuangan bangsa. Toha Mohtar sendiri dikenal sebagai pengarang yang kuat dengan latar revolusi, lahir dari pengalaman nyata yang ia jalani di Kediri dan sekitarnya. Pengalaman itu menjelma menjadi cerita-cerita yang merekam denyut sejarah, tetapi tetap menghadirkan nuansa rekaan sastra.
Ketertarikan membaca karya ini semakin relevan hari ini, ketika bangsa sedang berupaya memperkuat identitas kebangsaan sekaligus merawat nilai kemanusiaan. Di tengah wacana politik yang sering biner—kawan atau lawan, merah atau putih—cerita Toha Mohtar memberi ruang refleksi: bahwa musuh pun bisa punya wajah manusiawi, dan perang tak selamanya hitam-putih.
Sinopsis
Cerpen pertama, “Meneer Charlie Boon”, menampilkan kisah seorang Belanda bernama Boon yang datang ke Indonesia pada 1948. Ia bertemu Mas Har dan para pejuang muda seperti Ahmad, Irkam, dan Seno. Boon berniat melaporkan kondisi Indonesia ke KTN dengan perspektif yang adil, namun ia selalu diselimuti kecurigaan. Meski Mas Har percaya padanya, keraguan tetap menghantui para pejuang.
Cerpen kedua, “Sersan Wolters”, berkisah tentang Wolters, seorang serdadu Belanda yang berhati baik. Ia menolong penduduk sipil dengan mengantarkan obat, meski harus menembus lorong-lorong gerilyawan. Tragisnya, niat baik itu justru berujung kematian karena ia ditembak gerilyawan yang tak tahu perbuatannya. Ironi muncul ketika penduduk mengetahui Wolters adalah orang yang pernah menyelamatkan mereka.