Mengapa Kita Sering Melupakan Kematian yang Pasti Datang?
"Hidup tanpa mengingat mati, ibarat berjalan tanpa arah."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Mengapa manusia sering abai pada kematian padahal ia adalah kepastian? Imam Al Ghazali Ungkap Penyebab Manusia Lupa Kematian yang Pasti Datang. Berita itu menyingkap pandangan mendalam sang Hujjatul Islam tentang kondisi hati manusia di hadapan dunia dan akhirat. Apalagi di era modern yang serba cepat ini, manusia kerap larut dalam rutinitas dan distraksi digital tanpa sempat merenungi hakikat hidup. Di tengah gegap gempita pencapaian duniawi, kematian justru semakin jauh dari ingatan, padahal ia adalah kepastian yang tidak dapat ditawar.
Dalam tradisi Islam, kematian selalu diingat sebagai pintu menuju perjumpaan dengan Allah SWT. Namun realitas modern menunjukkan banyak orang lebih sibuk memburu dunia ketimbang menyiapkan diri. Urgensi menghidupkan kesadaran akan kematian menjadi sangat relevan, terutama di era disrupsi informasi yang membuat manusia kerap tenggelam dalam distraksi.
Penulis tertarik pada tema ini bukan semata karena aktualitas pemberitaan, melainkan karena ia menyentuh jantung persoalan eksistensi manusia. Bagaimana mungkin kita membangun masyarakat beradab jika melupakan hal paling pasti dalam hidup? Pandangan Imam Al Ghazali bisa menjadi cermin reflektif sekaligus kritik tajam bagi kehidupan modern kita hari ini.
Dunia yang Memalingkan dari Akhirat
Imam Al Ghazali menjelaskan bahwa manusia yang tekun dalam urusan dunia cenderung lalai dari mengingat mati. Kesibukan mengejar syahwat, harta, dan ambisi kekuasaan membuat kalbu tertutup dari perenungan hakikat kehidupan. Bahkan ketika diingatkan, orang seperti ini justru lari dari pembicaraan tentang kematian.
Fenomena ini nyata dalam budaya kontemporer. Pamer kekayaan, prestise sosial, dan popularitas di media sosial seolah menjadi ukuran keberhasilan hidup. Padahal, menurut Al Ghazali, orang yang sibuk dengan dunia justru semakin jauh dari Allah ketika mengingat kematian hanya dalam bentuk penyesalan. Maka pesan yang disampaikan adalah jelas: kesadaran akhirat harus hadir sebelum dunia menjerat hati.
Refleksi ini relevan bagi kita. Jika media sosial, pekerjaan, atau rutinitas sehari-hari telah menjauhkan kita dari perenungan, bukankah ini tanda kita sedang terperangkap dalam jebakan duniawi? Kritik Al Ghazali mengingatkan bahwa hanya dengan menata kembali prioritas hidup, barulah kita bisa selamat dari kelalaian.
Taubat dan Rasa Takut yang Menyelamatkan
Berbeda dengan orang yang lalai, manusia yang bertaubat justru memperbanyak mengingat kematian. Ia melihat kematian sebagai alarm agar segera memperbaiki diri. Rasa takut terhadap datangnya kematian sebelum taubat sempurna menjadi motivasi untuk memperbanyak amal saleh.
Namun, terkadang rasa takut ini disalahpahami. Seolah orang yang khawatir belum siap menghadapi kematian adalah orang yang membencinya. Al Ghazali menegaskan, jika ketakutan itu lahir dari keinginan memperbanyak bekal, maka ia dimaafkan. Sebab, yang ditolak bukan perjumpaan dengan Allah, melainkan keterlambatan dalam menyiapkan diri.
Refleksi ini mengajarkan kita pentingnya keseimbangan. Rasa takut pada kematian justru bisa menjadi energi positif, bukan penghalang. Pertanyaannya, sudahkah kita menggunakan rasa takut itu untuk memperbanyak amal, atau malah menutup telinga dari peringatan?
Makrifat: Menanti Kematian dengan Rindu
Pada tingkat tertinggi, manusia makrifat tidak hanya mengingat kematian, tetapi merindukannya. Bagi mereka, kematian adalah janji pertemuan dengan Sang Kekasih. Karena itu, mereka merasa waktu berjalan lambat, seolah menanti saat perjumpaan itu tiba dengan penuh harap.
Al Ghazali menegaskan, orang seperti ini menganggap kematian sebagai jalan keluar dari dunia yang fana menuju sisi Allah. Kisah Hudzaifah yang menjelang wafat berdoa agar dipermudah bertemu Allah menjadi contoh nyata kerinduan tersebut. Ini adalah level spiritual yang sulit dicapai, tetapi sangat mulia.
Dalam konteks modern, sikap ini bisa kita pahami sebagai upaya menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya. Tidak berarti mengabaikan kehidupan dunia, tetapi menempatkannya sebagai ladang amal untuk bekal akhirat. Kritik terselubungnya: jangan sampai dunia membuat kita lupa bahwa kita hanyalah musafir yang sebentar singgah.
Menyerahkan Pilihan kepada Allah
Puncak spiritualitas menurut Al Ghazali adalah menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada Allah. Orang seperti ini tidak memilih mati atau hidup, karena yang terbaik baginya adalah apa yang terbaik di sisi Tuhannya. Hidup dijalani dengan penuh keikhlasan, mati pun diterima dengan ridha.
Inilah sikap tawakal sejati. Tidak ada lagi penolakan, tidak ada lagi keterikatan berlebihan pada dunia. Semua yang terjadi diyakini sebagai bentuk kasih sayang Allah. Prinsip ini sekaligus mengkritik gaya hidup manusia modern yang penuh obsesi, seolah bisa mengendalikan segalanya.
Refleksi ini menuntun kita pada pesan besar: manusia tidak berkuasa atas ajalnya. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha, beramal, dan menjaga hati agar selalu siap. Bukankah dengan begitu hidup akan lebih tenang, tanpa rasa takut yang membelenggu?
Relevansi Pandangan Al Ghazali Hari Ini
Apa arti semua ini bagi kita? Pandangan Al Ghazali tidak sekadar wacana klasik, melainkan peringatan aktual. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, godaan materialisme, dan ketidakpastian hidup, mengingat kematian adalah cara paling jujur untuk kembali menemukan arah.
Kita bisa belajar dari tiga tipe manusia yang disebut Al Ghazali: yang lalai, yang bertaubat, dan yang makrifat. Dari situ, kita bisa menilai di posisi mana kita berdiri hari ini. Refleksi ini penting, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyiapkan diri agar hidup lebih bermakna.
Pada akhirnya, kesadaran akan kematian bukanlah pesan muram. Ia justru cahaya yang membimbing kita agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia. Bukankah manusia yang sadar mati akan lebih berhati-hati dalam hidup?
Penutup
Mengutip doa Hudzaifah menjelang wafat: “Wahai Allah, jika Engkau tahu bahwa kematian lebih kucintai daripada kehidupan, maka mudahkanlah ia agar aku segera berjumpa dengan-Mu.” Doa ini menggambarkan puncak kerinduan seorang hamba pada Tuhannya.
Pesan Al Ghazali bagi kita jelas: jangan biarkan dunia menutup hati dari kematian. Ingatlah mati sebagai jalan pulang, bukan sekadar akhir. Dengan begitu, hidup yang kita jalani pun akan lebih jernih, terarah, dan bermakna. Wallahu a'lam.
Disclaimer
Artikel ini adalah refleksi pribadi berdasarkan pandangan Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Penafsiran disajikan dengan pendekatan kontekstual agar relevan bagi pembaca masa kini.
Daftar Pustaka
- Republika.co.id. (14 September 2025). Imam Al Ghazali Ungkap Penyebab Manusia Lupa Kematian yang Pasti Datang. https://republika.co.id
- Al Ghazali. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
- Al-Qur’an al-Karim. Surat Al-Jumu‘ah: 8.
- Imam Bukhari & Imam Muslim. Shahih al-Bukhari & Shahih Muslim.
- Nasr, S. H. (2007). Islamic Spirituality: Foundations. London: Routledge.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI