Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Kita Sering Melupakan Kematian yang Pasti Datang?

16 September 2025   13:25 Diperbarui: 16 September 2025   13:25 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teladan Imam Ghazali dalam tradisi ilmiah (ilustrasi), ilustrasi ulama Foto: Republika 

Refleksi ini relevan bagi kita. Jika media sosial, pekerjaan, atau rutinitas sehari-hari telah menjauhkan kita dari perenungan, bukankah ini tanda kita sedang terperangkap dalam jebakan duniawi? Kritik Al Ghazali mengingatkan bahwa hanya dengan menata kembali prioritas hidup, barulah kita bisa selamat dari kelalaian.

Taubat dan Rasa Takut yang Menyelamatkan

Berbeda dengan orang yang lalai, manusia yang bertaubat justru memperbanyak mengingat kematian. Ia melihat kematian sebagai alarm agar segera memperbaiki diri. Rasa takut terhadap datangnya kematian sebelum taubat sempurna menjadi motivasi untuk memperbanyak amal saleh.

Namun, terkadang rasa takut ini disalahpahami. Seolah orang yang khawatir belum siap menghadapi kematian adalah orang yang membencinya. Al Ghazali menegaskan, jika ketakutan itu lahir dari keinginan memperbanyak bekal, maka ia dimaafkan. Sebab, yang ditolak bukan perjumpaan dengan Allah, melainkan keterlambatan dalam menyiapkan diri.

Refleksi ini mengajarkan kita pentingnya keseimbangan. Rasa takut pada kematian justru bisa menjadi energi positif, bukan penghalang. Pertanyaannya, sudahkah kita menggunakan rasa takut itu untuk memperbanyak amal, atau malah menutup telinga dari peringatan?

Makrifat: Menanti Kematian dengan Rindu

Pada tingkat tertinggi, manusia makrifat tidak hanya mengingat kematian, tetapi merindukannya. Bagi mereka, kematian adalah janji pertemuan dengan Sang Kekasih. Karena itu, mereka merasa waktu berjalan lambat, seolah menanti saat perjumpaan itu tiba dengan penuh harap.

Al Ghazali menegaskan, orang seperti ini menganggap kematian sebagai jalan keluar dari dunia yang fana menuju sisi Allah. Kisah Hudzaifah yang menjelang wafat berdoa agar dipermudah bertemu Allah menjadi contoh nyata kerinduan tersebut. Ini adalah level spiritual yang sulit dicapai, tetapi sangat mulia.

Dalam konteks modern, sikap ini bisa kita pahami sebagai upaya menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya. Tidak berarti mengabaikan kehidupan dunia, tetapi menempatkannya sebagai ladang amal untuk bekal akhirat. Kritik terselubungnya: jangan sampai dunia membuat kita lupa bahwa kita hanyalah musafir yang sebentar singgah.

Menyerahkan Pilihan kepada Allah

Puncak spiritualitas menurut Al Ghazali adalah menyerahkan pilihan sepenuhnya kepada Allah. Orang seperti ini tidak memilih mati atau hidup, karena yang terbaik baginya adalah apa yang terbaik di sisi Tuhannya. Hidup dijalani dengan penuh keikhlasan, mati pun diterima dengan ridha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun