Inilah sikap tawakal sejati. Tidak ada lagi penolakan, tidak ada lagi keterikatan berlebihan pada dunia. Semua yang terjadi diyakini sebagai bentuk kasih sayang Allah. Prinsip ini sekaligus mengkritik gaya hidup manusia modern yang penuh obsesi, seolah bisa mengendalikan segalanya.
Refleksi ini menuntun kita pada pesan besar: manusia tidak berkuasa atas ajalnya. Yang bisa dilakukan hanyalah berusaha, beramal, dan menjaga hati agar selalu siap. Bukankah dengan begitu hidup akan lebih tenang, tanpa rasa takut yang membelenggu?
Relevansi Pandangan Al Ghazali Hari Ini
Apa arti semua ini bagi kita? Pandangan Al Ghazali tidak sekadar wacana klasik, melainkan peringatan aktual. Di tengah hiruk pikuk dunia digital, godaan materialisme, dan ketidakpastian hidup, mengingat kematian adalah cara paling jujur untuk kembali menemukan arah.
Kita bisa belajar dari tiga tipe manusia yang disebut Al Ghazali: yang lalai, yang bertaubat, dan yang makrifat. Dari situ, kita bisa menilai di posisi mana kita berdiri hari ini. Refleksi ini penting, bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk menyiapkan diri agar hidup lebih bermakna.
Pada akhirnya, kesadaran akan kematian bukanlah pesan muram. Ia justru cahaya yang membimbing kita agar tidak terjebak dalam tipu daya dunia. Bukankah manusia yang sadar mati akan lebih berhati-hati dalam hidup?
Penutup
Mengutip doa Hudzaifah menjelang wafat: “Wahai Allah, jika Engkau tahu bahwa kematian lebih kucintai daripada kehidupan, maka mudahkanlah ia agar aku segera berjumpa dengan-Mu.” Doa ini menggambarkan puncak kerinduan seorang hamba pada Tuhannya.
Pesan Al Ghazali bagi kita jelas: jangan biarkan dunia menutup hati dari kematian. Ingatlah mati sebagai jalan pulang, bukan sekadar akhir. Dengan begitu, hidup yang kita jalani pun akan lebih jernih, terarah, dan bermakna. Wallahu a'lam.
Disclaimer
Artikel ini adalah refleksi pribadi berdasarkan pandangan Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin. Penafsiran disajikan dengan pendekatan kontekstual agar relevan bagi pembaca masa kini.