Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Anak Sekolah, Ayah Rela Tinggal di Sawah

13 September 2025   20:34 Diperbarui: 13 September 2025   20:34 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Investasi pendidikan tidak bisa dibebankan pada individu atau keluarga semata. Negara harus hadir memberi jaminan agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Tanpa itu, ketimpangan akan terus melebar dan cita-cita pembangunan manusia Indonesia seutuhnya hanya tinggal retorika.

Refleksi kritisnya, bangsa ini tidak boleh menunggu lebih banyak Emon lain yang berjuang dalam keterbatasan. Kita semua, sebagai masyarakat dan pemerintah, harus menyadari bahwa masa depan Indonesia ditentukan oleh sejauh mana kita menghargai pendidikan hari ini.

Keteladanan yang Menggerakkan Nurani

Emon memberi teladan bahwa kasih sayang orang tua adalah energi yang tak pernah padam. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah, melainkan dorongan untuk mencari jalan. Dari gubuk sederhana itu, lahir sebuah narasi kuat tentang arti pengorbanan demi masa depan anak.

Namun, kita tidak boleh menormalisasi pengorbanan ekstrem ini sebagai hal biasa. Kisah Emon seharusnya menjadi alarm bagi kita semua tentang masih jauhnya cita-cita keadilan sosial. Ada tanggung jawab moral bersama untuk memastikan setiap anak berhak belajar tanpa harus melewati jalan berlumpur atau tinggal di gubuk reyot.

Refleksi akhirnya, kisah ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap persoalan di sekitar. Pendidikan adalah pintu masa depan, dan kita semua memiliki peran untuk menjaganya tetap terbuka bagi setiap anak bangsa.

Penutup

Kisah Emon adalah potret kejujuran hidup: sederhana, penuh keterbatasan, tetapi sarat makna. Ia mengajarkan kita bahwa cinta orang tua adalah bentuk pengorbanan tertinggi yang tidak bisa dinilai dengan materi. Dalam diamnya gubuk bambu itu, tersimpan tekad besar untuk sebuah cita-cita: masa depan anak.

Sebagaimana pernah diungkapkan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Emon sudah membuktikan keyakinan itu dengan caranya sendiri. Kini, tugas negara dan masyarakat adalah memastikan perjuangan semacam ini tidak harus diulang di masa depan. Wallahu a'lam

Disclaimer: 

Artikel ini ditulis sebagai refleksi dan analisis sosial dari pemberitaan di media. Segala data mengacu pada sumber yang disebutkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun