Kabar tentang kondisi Abdurohman pertama kali mencuat dari laporan warga dan unggahan media sosial. Dari sana, barulah pemerintah kelurahan dan kecamatan bergerak cepat membawa Abdurohman ke RSUD. Solidaritas masyarakat menjadi pemantik, sementara birokrasi baru berjalan setelah suara publik membesar.
Hal ini menunjukkan paradoks: di satu sisi, pemerintah lokal bisa sigap ketika kasus sudah terbongkar; di sisi lain, pencegahan dan pendataan tidak berjalan dengan optimal. Solidaritas warga membuktikan bahwa empati masyarakat tetap hidup, meski negara kerap datang terlambat.
Refleksinya jelas: pemerintah perlu memperkuat sistem jemput bola, bukan menunggu kasus meledak di media sosial. Abdurohman beruntung mendapat sorotan publik, tetapi berapa banyak warga lain yang tetap sunyi dalam penderitaan serupa?
5. Pelajaran bagi Bangsa
Kasus Abdurohman bukan hanya kisah individual, tetapi cermin dari kelemahan struktural bangsa. Kesehatan publik, administrasi kependudukan, dan perlindungan sosial sering berjalan sendiri-sendiri, tanpa integrasi. Akibatnya, mereka yang paling lemah justru paling mudah tercecer.
Kita bisa belajar bahwa isu kesehatan tidak bisa dipisahkan dari isu sosial. Sakit fisik bisa memperburuk kemiskinan, kemiskinan bisa menghilangkan akses identitas, dan hilangnya identitas bisa menutup pintu kesehatan. Semua berputar dalam lingkaran setan.
Refleksi akhirnya: kasus ini menuntut kita untuk lebih peka, bukan hanya sebagai pemerintah, tetapi juga sebagai masyarakat. Empati yang tulus adalah modal sosial, tetapi harus diperkuat oleh kebijakan publik yang adil.
Penutup
Hidup Abdurohman mengajarkan kita tentang arti rapuhnya jaring pengaman sosial di negeri ini. Dari sakit fisik, keterbatasan ekonomi, hingga hilangnya identitas, semua berlapis dalam satu tubuh yang sunyi. Seolah-olah ia hidup di pinggir, sampai sorot kamera media menyelamatkannya dari keterlupaan.
Sebagaimana kata Nelson Mandela, “Kesehatan bukanlah sebuah hak istimewa, melainkan hak asasi manusia.” Maka, Abdurohman berhak untuk sehat, berhak untuk diakui, dan berhak untuk hidup bermartabat. Pertanyaannya kini, apakah kita hanya akan menaruh iba sesaat, atau menjadikannya pelajaran kolektif agar tak ada lagi warga yang hilang dalam sunyi? Wallahu a'lam.