Refleksi ini mengingatkan kita bahwa keseharian orang seperti Abdurohman bukan sekadar urusan pribadi, melainkan potret kegagalan sistem sosial. Ketika negara lalai, penderitaan individu berubah menjadi luka kolektif yang menyimpan pertanyaan: siapa sebenarnya yang bertanggung jawab?
2. Penyakit yang Menjadi Beban Ganda
Dari keterangan medis, Abdurohman menderita neurofibromatosis, penyakit kulit genetis yang menimbulkan benjolan di seluruh tubuh. Meski tidak mematikan, penyakit ini menyebabkan penderitaan psikis, stigma sosial, dan keterasingan. Sakitnya bukan hanya di kulit, tetapi juga di mata masyarakat yang memandang penuh curiga dan ngeri.
Penyakit langka seperti ini sering tidak mendapat perhatian serius di sistem kesehatan publik. Bahkan, pengobatan yang sempat dijalani Abdurohman terputus setelah ibunya meninggal 10 tahun lalu. Putusnya dukungan keluarga menjadi pukulan ganda yang membuat ia terjebak dalam keterbatasan.
Refleksi kritis muncul: akses layanan kesehatan di Indonesia masih sangat bergantung pada kemampuan keluarga, bukan jaminan universal. Padahal, dalam kasus penyakit genetis, negara mestinya hadir penuh. Kasus ini menjadi alarm agar kebijakan kesehatan benar-benar menjangkau kelompok marginal, bukan sekadar angka statistik.
3. Identitas yang Hilang, Hak yang Tersisih
Salah satu fakta mencengangkan dari kasus ini adalah Abdurohman tidak memiliki KTP. Ia bahkan sempat tidak tercatat dalam sistem kependudukan. Hilangnya identitas formal berarti hilangnya akses terhadap layanan publik, mulai dari kesehatan hingga bantuan sosial.
Kondisi ini memperlihatkan betapa identitas administratif menjadi penentu nasib warga negara. Tanpa KTP, seseorang seperti lenyap dari peta negara, meski ia nyata ada. Baru setelah kasusnya viral, Disdukcapil turun tangan melakukan rekam biometrik dan menerbitkan dokumen kependudukan.
Di titik ini, kita harus bertanya: mengapa negara tidak proaktif menemukan mereka yang tercecer? Apakah hak warga hanya berlaku bagi mereka yang “terlihat” di sistem? Kasus Abdurohman adalah pelajaran tentang bagaimana negara bisa gagal melihat warganya sendiri.
4. Peran Pemerintah Lokal dan Solidaritas Warga