Inilah dilema klasik pembangunan: demi menjaga industrialisasi, ekologi dikorbankan. Padahal, tanpa ekologi yang sehat, ekonomi pun tidak akan berumur panjang. Pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam ibarat membangun rumah megah di atas fondasi rapuh.
2. Biaya Fantastis, Prioritas Dipertanyakan
Anggaran Rp 1,28 kuadriliun bukan angka kecil, bahkan lebih besar dari APBN banyak kementerian digabungkan. Dana sebesar itu disebut cukup untuk membiayai puluhan ribu sekolah baru dan memperbaiki layanan kesehatan dasar. Kritik pun muncul, apakah benar infrastruktur beton lebih urgen dibanding investasi pada manusia?
Parid menyoroti betapa pendidikan dan kesehatan masih jauh dari ideal. Guru dan dosen berpenghasilan rendah, sekolah di daerah terpencil kurang fasilitas, dan layanan kesehatan dasar masih timpang. Jika visi Indonesia Emas 2045 ingin diwujudkan, fondasinya haruslah manusia, bukan semata beton.
Di sinilah refleksi moral pembangunan diuji. Apakah pemerintah berani menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas, atau tergoda mengejar citra melalui megaproyek? Pembangunan seharusnya bukan pertunjukan angka besar, tetapi investasi jangka panjang untuk martabat bangsa.
3. Tata Ruang yang Semrawut dan Terpinggirkannya Pesisir
Masalah pesisir Pantura sejatinya bukan semata rob, melainkan tata ruang yang semrawut. Kawasan utara Jawa dikuasai industri besar dan reklamasi tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan. Akibatnya, ruang hidup masyarakat pesisir semakin terjepit.
Pembangunan tanggul tanpa evaluasi tata ruang ibarat memberi obat pereda sakit tanpa menyembuhkan penyakit. Rob akan tetap menghantui jika hutan mangrove terus ditebang dan lahan resapan air berubah menjadi kawasan industri. Solusinya bukan hanya beton, melainkan perencanaan ruang yang adil dan ekologis.
Lebih dari itu, masyarakat pesisir harus diberi tempat dalam perencanaan kebijakan. Mereka bukan sekadar korban rob, tetapi juga pemilik hak atas laut dan daratan yang kini makin terpinggirkan. Suara mereka wajib menjadi pertimbangan utama, bukan sekadar pelengkap laporan.
4. Bayangan IKN: Otorita dan Dana Besar yang Terbengkalai