Kebijakan yang kaku sering melupakan dimensi sosial. Padahal, pembangunan sejati adalah tentang manusia, bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Tanpa sensitivitas terhadap realitas lapangan, kebijakan akan kehilangan legitimasi moralnya.
Bila dibiarkan, potensi keresahan sosial bisa meningkat. Masyarakat akan bertanya-tanya: mengapa negara lebih berpihak pada rumitnya birokrasi ketimbang pada nasib mereka?
5. Refleksi untuk Reformasi
Kasus di Cirebon hanyalah satu contoh dari banyak kasus serupa di Indonesia. Dari perizinan tambang, pabrik, hingga proyek energi, cerita tentang hambatan administratif selalu berulang. Pertanyaan besarnya: sampai kapan pola ini dibiarkan?
Reformasi birokrasi bukan sekadar jargon, tetapi keharusan. Jika pemerintah serius mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen seperti ditargetkan, perizinan harus dipangkas tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian. Transparansi, digitalisasi, dan pendampingan aktif bisa menjadi kuncinya.
Refleksi akhirnya: kita butuh birokrasi yang lincah, bukan birokrasi yang lamban. Karena di balik setiap izin yang tertahan, ada ribuan harapan manusia yang ikut terhenti.
Penutup
Investasi bukan sekadar angka, tetapi napas bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ketika birokrasi memperlambat, yang dirugikan bukan hanya investor, melainkan juga rakyat yang menunggu pekerjaan.
Sudah saatnya pemerintah mengingat pepatah bijak: "Waktu yang hilang tak bisa kembali, dan kesempatan yang tertunda adalah kerugian bagi bangsa." Bila negara sungguh ingin maju, birokrasi harus menjadi solusi, bukan masalah. Wallahu a'lam.Â
Disclaimer
Tulisan ini merupakan opini pribadi berdasarkan pemberitaan media arus utama. Tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan pihak mana pun.