Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa prosedur administrasi lebih kuat suaranya ketimbang urgensi sosial-ekonomi? Bukankah negara semestinya hadir sebagai fasilitator, bukan sebagai penghambat?
2. Birokrasi yang Jadi Tembok
Pernyataan Kepala DPMPTSP Cirebon, Hilmy Rivai, menyiratkan keputusasaan birokrat daerah. Ia menyebut, berkas pengajuan investor tidak diproses, namun juga tidak dikembalikan untuk perbaikan. Praktik ini jelas menunjukkan wajah birokrasi yang tidak proaktif.
Padahal, pemerintah pusat gencar membanggakan ease of doing business. Ironisnya, di lapangan, investor menghadapi labirin prosedur yang membuat niat baik mereka terhenti. Tak hanya soal waktu, tetapi juga biaya yang terus membengkak karena penundaan.
Inilah yang kerap membuat investor asing ragu menanamkan modal di Indonesia. Mereka melihat birokrasi kita tidak ramah, bahkan cenderung menakutkan. Apakah ini citra yang ingin kita pertahankan?
3. Keseimbangan Ekonomi dan Lingkungan
Perizinan lingkungan bukan tanpa alasan. Tujuannya menjaga agar investasi tidak merusak ekosistem dan keseimbangan alam. Namun, ketika prosedur berbelit tanpa solusi, niat baik itu justru kehilangan makna.
Lingkungan memang harus dijaga, tetapi prosedurnya bisa dibuat lebih adaptif. Misalnya, kementerian bisa langsung mendampingi investor untuk memperbaiki dokumen teknis yang kurang. Dengan begitu, kepastian hukum tetap terjaga, tanpa mengorbankan kecepatan.
Di sinilah letak refleksi pentingnya: menjaga lingkungan tidak berarti mengorbankan pembangunan. Kedua kepentingan ini bisa berjalan seimbang jika birokrasi dijalankan dengan cerdas, bukan sekadar formalitas.
4. Dampak Sosial yang Terabaikan
Setiap angka dalam tabel investasi sejatinya merepresentasikan kehidupan manusia. Ketika 10.000 tenaga kerja gagal terserap, itu berarti ada 10.000 keluarga yang tertunda untuk mendapat penghasilan tetap. Bukankah ini bentuk ketidakpekaan kebijakan?