Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

DPR, Bisakah Belajar Mendengar Sebelum Rakyat Marah?

26 Agustus 2025   19:36 Diperbarui: 26 Agustus 2025   19:36 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa berkumpul di depan Gerbang Pancasila DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025)(Kompas.com/Ridho Danu Prasetyo)

DPR, Bisakah Belajar Mendengar Sebelum Rakyat Marah?

"Kebijaksanaan bukan datang setelah gaduh, tapi sebelum rakyat teriak."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Mengapa rakyat harus turun ke jalan lebih dulu sebelum wakilnya menjelaskan duduk perkara tunjangan rumah? Senayan pada Senin, 25 Agustus 2025, menjadi saksi ribuan massa dalam aksi Revolusi Rakyat Indonesia yang berlangsung sejak pagi hingga malam. Kompas.com (26/8/2025) menurunkan laporan berjudul “Dasco: Setelah Oktober 2025, Anggota DPR Tak Terima Tunjangan Rumah Rp 50 Juta Per Bulan Lagi”, yang menegaskan betapa sensitifnya isu transparansi fasilitas negara di mata publik.

Sejak pagi, suasana di sekitar Gedung DPR/MPR RI dipenuhi simbol perlawanan, mulai dari tabur bunga hingga aksi teatrikal mahasiswa. Namun, ketika sore menjelang, situasi berubah: gas air mata ditembakkan, bentrokan pecah, dan fasilitas umum pun rusak. Malam itu Jakarta macet total, sebuah tanda betapa rapuh komunikasi negara dengan rakyat bila dijembatani dengan penjelasan yang datang terlambat.

Penulis tertarik membahas isu ini karena ia mencerminkan jurang komunikasi yang belum kunjung teratasi. Mengapa klarifikasi soal tunjangan DPR baru muncul setelah kericuhan? Mengapa suara rakyat seringkali baru didengar jika sudah menggema lewat demonstrasi? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntun kita pada refleksi tentang etika komunikasi politik yang lebih bijak.

1. Tunjangan DPR: Antara Fakta dan Persepsi Publik

Tunjangan rumah DPR sebesar Rp 50 juta per bulan sejak Oktober 2024 memang menuai polemik luas. Banyak publik menilainya sebagai pemborosan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih. Penjelasan bahwa dana itu dipakai untuk kontrak rumah lima tahun memang logis secara administratif, namun terkesan elitis dalam penyampaian. Rakyat melihat nominal, bukan mekanisme angsuran.

Polemik ini mengajarkan bahwa komunikasi kebijakan tidak cukup berbasis teknis, melainkan juga harus sensitif terhadap psikologi publik. Angka Rp 50 juta per bulan adalah simbol ketimpangan ketika masih banyak guru honorer, tenaga medis, hingga petani hidup pas-pasan. DPR seharusnya menyadari bahwa simbol jauh lebih kuat daripada sekadar logika anggaran. Transparansi tanpa empati hanya akan memicu jarak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun