DPR Memasuki Tahun Kedua, “Kualitas Legislasi, Cermin Kepercayaan Rakyat”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pagi 15 Agustus 2025, suasana di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, dipenuhi formalitas dan harapan baru. Pikiran Rakyat menurunkan laporan berjudul “Masuki Tahun Kedua DPR 2024–2029, Puan Ungkap Dewan Sudah Terima 5.642 Laporan Rakyat dan Rampungkan 14 UU”. Kehadiran Presiden Prabowo Subianto dan Ketua DPR Puan Maharani menjadi simbol kolaborasi legislatif-eksekutif di awal masa sidang 2025–2026.
Berita tersebut relevan karena mencerminkan dinamika hubungan rakyat dan wakilnya di tengah tuntutan reformasi hukum dan kebijakan publik. Penyelesaian 14 UU dan penerimaan ribuan laporan rakyat memperlihatkan bahwa demokrasi berjalan di ruang yang padat aspirasi. Dalam konteks politik nasional, capaian ini menjadi barometer akuntabilitas dan efektivitas parlemen.
Penulis tertarik membahasnya karena isu legislasi kerap terjebak pada hitungan kuantitas, padahal yang dibutuhkan publik adalah kualitas produk hukum. Pernyataan Puan yang menekankan keseimbangan, partisipasi publik, dan keberpihakan pada keadilan layak ditelaah lebih dalam. Inilah saatnya melihat apakah DPR benar-benar menjadi wasit yang adil di tengah “pertandingan” kepentingan bangsa.
1. Legislasi yang Mengedepankan Kualitas
DPR RI berhasil menyelesaikan 14 UU pada tahun pertama periode 2024–2029. Puan Maharani menegaskan bahwa kuantitas bukan satu-satunya indikator, melainkan kualitas substansi hukum yang harus diutamakan. Pernyataan ini menunjukkan kesadaran akan risiko produk legislasi yang terburu-buru demi target angka semata.
Dalam praktiknya, menjaga kualitas berarti memastikan setiap pasal memiliki dasar kajian akademik yang kuat dan selaras dengan kebutuhan rakyat. Tanpa kualitas, undang-undang berisiko menjadi beban administratif atau bahkan menimbulkan masalah baru. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah harus mampu menahan tekanan untuk sekadar memperbanyak produk hukum.
Refleksi dari sikap ini menunjukkan bahwa legislasi yang bermutu akan memperpanjang umur kepercayaan publik terhadap parlemen. Jika konsistensi ini terjaga, DPR dapat memutus stigma bahwa pembahasan UU hanya sekadar formalitas politik. Sebaliknya, setiap ketukan palu akan menjadi tanda lahirnya solusi nyata.